Deru motor Vario yang melaju cepat terus terdengar. Udara pagi juga tak mau kalah meniupkan kesejukannya ke wajah kami. Handle gas motor sepertinya agak lelah ditarik terus oleh kawan saya. Ya, saya dan kawan saya sepakat pergi menemui kawan kami—sesama pejuang dakwah di jurusan kami—sebelum kami mencari sarapan, sekadar mengisi perut untuk meneruskan perjuangan di ahad pagi.Masih tertanam betul di memori ini bagaimana seseorang yang dulunya adalah maniak lagu dan film India bisa berhijrah menuju jalan yang haq. Bahkan seluruh koleksi Indianya pun tak kuasa menolak untuk ia singkirkan sejauh mungkin dari hadapannya. Kini, pecinta India, berjulukan alay, dan bergelak tawa besar, telah hilang, digantikan oleh sosok yang tawadhu—insya Allah—mencari ridho sang Ilahi.
“Masjid Al-Falah.”, singkat jawab kawan saya saat saya tanyakan kemana tujuan kami. Alhamdulillah, seorang bapak satpam tanpa pamrih menerangkan jalan menuju masjid tersebut—sebuah masjid di sebuah perumahan di daerah Tembalang—walaupun pada akhirnya kami berdua tetiba langsung lupa penjelasan bapak tersebut setelah ucapan “makasih, Pak!” kami lontarkan, memaksa kami untuk menggunakan metode khas anak komputer, Google Maps, daripada bertanya lagi dengan orang lain.
“Si Abdul sekarang jenggotnya makin tebel, ya!”, ucap saya spontan saat kami sudah melihat masjid Al-Falah dari kejauhan, kemudian disusul komentar kawan saya, “lebat, bukan tebel”. Bayangan tentang penampilannya yang juga berubah 180 derajat ikut merayap ke pikiran. Tak ada lagi yang namanya pakaian yang tidak syar’i yang dipakainya. Bahkan, ia pun sekarang sangat berhati-hati terhadap kemungkinan najis yang melekat pada pakaiannya, tidak seperti saya yang terkadang masih suka melalaikan hal yang sangat mendasar tersebut. Kumisnya yang dulu saat kami masih menjadi mahasiswa baru terkadang masih terlihat, kini tercukur habis tergantikan oleh sunnah Rasulullah—janggut yang terawat. Masya Allah.
Tebakan saya pun benar. Berjalan dengan tersenyum menghampiri kami yang menunggunya di depan masjid, ia selalu mengenakan pakaian gamis saat tiap kali saya bertemu dengannya, seperti seakan mengatakan bahwa ia tidak akan mau terikat oleh busana fashion yang digemparkan oleh kaum barat. “Wa’alaikumsalaam warahmatullaah”, jawabnya saat kami mendoakan ia dengan salam seorang muslim. Dengan kecepatan rendah, motor meluncur lambat mengikuti ia yang mengarah menuju sebuah rumah.
Sebuah rumah tanpa pagar dan terlihat sederhana—jika dibandingkan dengan rumah-rumah tetangga sekitar—berdiri kokoh di pojok jalan. Biarpun seakan terasa terisolasi, rumah ini insya Allah dirahmati Allah karena jaraknya yang hanya 10 meter dari masjid itu selalu mengantarkan kaki pemiliknya menuju rumah Allah tersebut. Barang-barangnya di dalam rumah pun tidak ada yang neko neko. Saya pun terkejut dan kagum saat ia mengatakan bahwa ia pada mulanya mengontrak rumah ini untuk tinggal berdua bersama sang bidadari—istri. Tetapi, alih-alih ingin memiliki istri, ia bertutur bahwa mencari calon istri itu tidak semudah mencari nilai kuliah. Hebat, gumam saya saat kembali mengingat bahwa dari dahulu ia adalah seorang pemuda yang tegar.
Sekitar tiga tahun yang lalu, tahun 2012, saat saya dengannya berkendara menuju Pekalongan, ia bercerita tentang kisah hidupnya, atau lebih tepatnya keluarganya. Saat ia masih bersekolah di SMA, ayahnya memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang wanita muda—yang lebih cantik parasnya dibanding ibunya—dan mengesampingkan istri pertamanya. Akibatnya, kawan saya yang anak sulung ini dipaksa oleh kehidupan untuk ikut membantu kebutuhan sehari-hari adik dan ibunya. Mulai dari berjualan kecil-kecilan di sekolah hingga ikut membantu bisnis orang lain pun dilakoninya. Ia bilang, kini ayahnya sudah hampir tidak pernah mengunjungi rumah mereka di Tegal. Ia kehilangan sosok seorang ayah dan ia yang kini menggantikan peran sang ayah untuk keluarga.
Obrolan kami bertiga semakin seru. Pembicaraan semakin tajam saat kami mulai berbincang mengenai bagaimana memakmurkan masjid-masjid di zaman smartphone people ini; aplikasi Android, website, dan perangkat digital lainnya kami diskusikan sebagai media untuk memakmurkan masjid. Hebat, di saat saya sok ‘sibuk’ dengan amanah dakwah lain, terkadang saya terlupa untuk ikut memakmurkan masjid, tapi ada kawan saya ini yang tetap istiqamah meramaikan masjid. Saya pun kagum dengannya yang sangat bersemangat ber-thalabul ilmi ke kajian-kajian. Tidak seperti saya yang terkadang masih suka mencari pembenaran; lelahlah, nanti sajalah, jauhlah, hujanlah, dan lah-lah lainnya. Astaghfirullah.
Itulah yang menjadi titik hijrah sang sahabat. Hidayah Allah telah menyapanya dan insya Allah ia akan tetap istiqamah dengan jalan hidupnya. Dengan membersamai orang-orang yang sholeh, itu yang selalu ia lakukan untuk menjaga satu hal: istiqamah—dalam beriman, berilmu, dan beribadah.
Dari Abu ‘Amr, dan ada yang mengatakan dari Abu ‘Amrah Sufyân bin ‘Abdillâh ats-Tsaqafi Radhiyallahu anhu, yang berkata : “Aku berkata, ‘Ya Rasulullah! Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau.’ Beliau menjawab, ‘Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla,’ kemudian istiqâmahlah.’” (HR. Muslim No. 38)
Perut mulai membunyikan nada, menandakan kami harus segera sarapan—pamit dan pulang. Hari itu saya memperoleh pelajaran baru, mendapatkan hikmah dari kisah sahabat saya ini—Abdul. Setelah mengucapkan salam kepadanya, kami menancap gas. Di perjalanan pulang, deram motor saya tak cukup tangguh memecah kesunyian di antara kami berdua. Hening pun tiba di antara kami. Kami disibukkan dengan pikiran masing-masing, memikirkan apa yang telah kami diskusikan barusan—berusaha memetik ibrah dari silaturahim singkat barusan.
Motor Vario tetap melaju. Udara pun kembali meniupkan semilir angin ke wajah kami. Lalu lalang orang semakin ramai, menandakan hari semakin beranjak siang. Sama halnya seperti hilir mudik cacing-cacing di dalam perut kami yang sedang berdemo kelaparan. Sekarang, tujuan kami hanya satu: Nasi Pecel Penny.
Al-Brimobiyyah, 28 Februari 2015
RDU