Home / Hikmah Kehidupan / Jawa yang Sesungguhnya

Jawa yang Sesungguhnya

Orang Jawa
Orang Jawa via sosiologisederhana.blogspot.com

Sering saya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada lingkungan sekitar saya. Ilustrasi Payen yang sangat masyhur di awal abad 18 selalu nampak di depan mata saat melihat kondisi masyarakat saat ini. Lebih dari 200 tahun kita tidak bisa terlepas dari dominasi pemikiran yang menancap jauh di dalam otak bawah sadar kita. Kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang beradab. Namun kenapa kita seolah bangsa yang bar-bar? Tidak ada sopan santun di jalan raya, tidak ada sopan santun di pemerintahan, di politik dan hampir di semua tempat.

Hal yang simple saja adalah masalah disiplin dan tanggung jawab. Terkadang saya heran, kenapa ketika pergi ke eropa, ke negara yang lebih maju kita mudah sekali diatur. Tanpa disuruh pun kita akan otomatis mengantri di pintu imigrasi, mengantri beli tiket atau mengantri taksi. Ya, walaupun di negara eropa pun kadar kedisiplinannya berbeda. Belanda, Jerman mungkin negara yang benar-benar tertata dengan rapi, berbeda dengan Belgia dan Italy yang agak lebih lunak kedisipilinannya. Namun itu pun masih lebih baik dibandingkan dengan yang kita hadapi saat mendaratkan kaki di Jakarta. Seolah budaya mengantri dan budaya disiplin langsung hilang.

Belum lagi, budaya malu yang sama sekali tidak nampak di kehidupan kita. Di Jepang ada budaya harakiri atau seppuku, yang berarti memotong perutnya sendiri jika melakuan kesalahan. Apakah di kita tidak ada? Ternyata ada. Bahkan budaya harakiri dalam rangka kehormatan itu termasuk budaya agung yang ada di tanah jawa. Saat ini orang jawa itu dikenal sebagai klemar klemer, ragu-ragu, ewuh pakewuh dan lain-lain yang menggambarkan kelemahan sebagai orang jawa. Namun ternyata itu adalah jawa yang terjajah. Jawa yang sesungguhnya adalah mataram. Motto pasukan Mataram pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah “Lamun sliro assoring jurit ing ngaloko ojo wani mulih-mulih ning Jowo luwih becik sliro mati”. Kalau kamu kalau bertempur, jangan berani pulang, lebih baik mati. Motto yang kemudian menjadi motto pasukan elit Indonesia, Kopassus, “Lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas”. Ini adalah budaya asli jawa yang sesungguhnya. Itu dibuktikan ketika pasukan Sultan Agung yang dipimpin oleh Mandureja didampingi Adipati Ukur dan Banaspati kalah perang melawan Belanda. Banaspati tidak berani pulang dan ngalong (bertahan) di sebuah daerah yang kemudian dikenal sebagai kota Pekalongan. Adipati Ukur sendiri lari ke Sumedang. Sedangkan Mandureja kembali pulang dan menghadap Sultan Agung dan mengatakan dengan gagah berani, “Kanjeng Sultan, saya kalah. Saya mohon ampun dan mohon keringanan hukuman. Keluarga saya jangan ditumpas”. Setelah itu dia kembali ke rumahnya, mandi, sholat dzuhur, kemudian memakai pakaian Ihram. Dia langsung pergi ke alun-alun untuk menyerahkan kepalanya untuk dipenggal. Dia bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya. Karena dia telah membuat malu maka dia rela mendapatkan hukuman atas kesalahannya itu. Tidak beda jauh dengan budaya harakiri.

Ada pula motto yang lain, seperti Jer basuki mawa bea. JIka kamu mau maju, maka harus berlatih dengan disipliin tinggi. Sesungguhnya segala sesuatu tidak ada yang instan. Ada proses yang harus dilewati. Budaya seperti ini sangat biasa di jaman Kasunan Mangkunegaraan. Ketika seseorang sudah memasuki akil baliq, maka laki-laki dan perempuan akan dipisah. Mereka dilatih ilmu agama, kesusasteraan, kenegaraan, kanuragan. Dan semua itu dilakukan dengan penuh kedisiplinan. Mereka juga punya motto hangorso handabeni (sense of belonging, rasa memiliki bukan menguasai), wajib melu ngopeni (memelihara baik-baik segala sesuatu dengan kesungguhan) dan juga Mulat Sariro Hangroso Wani (Introspeksi diri dan berani berkata benar benar).

Itulah jawa yang sesungguhnya. Jawa yang jiwanya merdeka. Dia tidak takut kepada siapapun selagi dia benar. Kenapa budaya yang bagus seperti ini bisa hilang? Banyak hal yang menyebabkannya. Salah satunya karena tidak adanya sistem yang memadai untuk menjaga itu semua. Yang marak di sekeliling kita ada budaya siapa yang bicara, bukan bagaimana sistem bekerja. Selain itu adalah karena faktor kepemimpinan yang nampaknya belum siap untuk merdeka. Faktor kepemimpinan seperti yang diilustrasikan oleh Payen sejak 200 tahun lalu masih ada sampai sekarang. Berbeda dengan di Jepang, dimana budaya Bushido nya masih tetap dijaga turun temurun hingga sekarang.

Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merdeka yang tidak terbelenggu oleh apapun yang ada di dunia, selain kepada penciptaNya.
Tangerang, 31 Jan 2015
Edi Sukur

About Admin

Admin komunitas MJRS-SJS. Sebuah komunitas yang berupaya membiasakan diri dengan one day one juz + dzikir + Qiyamullail. Selain itu, ada program-program menarik dalam komunitas ini seperti kulsap (kuliah whatsapp), Bedah Buku, Bedah Film dan Kajian Telegram.

Check Also

Sandwich Generation yang Merdeka

Sandwich Generation yang Merdeka Disadur dari Webinar Financial Yaumi Indonesia, narasumber Kak Kaukabus Syarqiyah, SE., ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *