Home / Pengetahuan Umum / Ki Wasyid

Ki Wasyid

Ki Wasyid & Peristiwa Geger Cilegon

15-04-23-kh-wasid

 

Kiai Haji Wasyid bin Muhammad Abbas (lahir dengan nama Qosyid) atau lebih dikenal dengan nama Ki Wasyid adalah seorang pejuang yang memimpin Perang Cilegon pada tanggal 9 Juli 1888 hingga gugurnya di medan perang pada tanggal 30 Juli 1888 di Banten. Pada praktiknya, gerakan Ki Wasyid dalam perang tersebut banyak dipengaruhi oleh pemikiran guru-gurunya: Nawawi al-Bantani dan Abdul Karim al-Bantani, seorang mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam perjuangannya, ia memiliki keahlian dan kemampuan strategis, seperti bagaimana ia melakukan komunikasi-komunikasi politik dengan para ulama, jawara, dan pejuang-pejuang lainnya di Banten dan luar Banten untuk terlibat dalam perang melawan penjajah Belanda.
Ki Wasyid lahir pada tahun 1843 di kampung Delingseng, Ciwandan, Cilegon, Banten. Ia terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan Kiai Muhammad Abbas dan Nyai Johariah. Dari garis ayah dan ibunya, ia merupakan keturunan seorang pejuang, yaitu Ki Mas Jong. Silsilah lengkapnya adalah Ki Wasyid bin Ki Abbas bin Ki Qoshdu bin Ki Jauhari bin Ki Mas Jong. Ki Mas Jong merupakan tangan kanan Prabu Pucuk Umun, raja Pajajaran. Setelah kekalahan Kerajaan Sunda oleh Kesultanan Banten, ia kemudian masuk Islam dan menjadi pengikut dan orang kepercayaan Maulana Hasanuddin, sultan Banten.
Wasyid lahir dari keluarga pejuang yang memberontak terhadap penjajah. Ayahnya, Abbas, mengambil bagian dalam pemberontakan Wakhia (Perang Gudang Batu) tahun 1850. Wasyid kecil tumbuh di tempat pengasingan karena ayahnya sering mengajak keluarganya berpindah-pindah tempat untuk menghindar dari kejaran tentara Belanda.

Sebelum terjadinya peristiwa Geger Cilegon perjuangan Ulama dan Petani Banten mengusir penjajah Kompeni Belanda terlebih dahulu terjadi kejadian gunung Krakatau meletus pada hari Senin tanggal 27 Agustus 1883 jam 10:27 WIB, sulit untuk diceritakan dengan kata-kata, Tgl 25 Agustus 1883.

Hari Sabtu dua hari sebelum letusan, awan di sekitar Kalianda / Lampung terjadi awan gelap dan hawa terasa panas, tiba-tiba turun hujan abu, angin bertiup tidak terlalu kencang, kilat merah menyambar-nyambar dan ini berlangsung terus sampai terjadi letusan dua hari kemudian yang memiliki Kekuatan setara dengan 21.547,6 kali letusan bom atom. The Guinees book of record menyebut sebagai The most power full recorded explotion in history letusan pertama disusul letusan kedua dan ketiga membuat gelombang Tsunami, dentumannya terdengar sampai jarak 4500 KM dari pusat ledakan di selat sunda, mengakibatkan terjadinya semburan Vulcanik yaitu Semburan materi seperti : abu, kerikil setinggi 80 KM berjatuhan dan menutupi daerah seluas 800.000 Km persegi selama tiga hari tiga malam dan memuntahkan 25 Km kubik batuan dan Abu Vulkanik ke udara.

Pulau Jawa dan Sumatra tertutup oleh awan gelap dan hujan abu dengan ketebalan abu mencapai 1 meter dan menciptakan Kaldera sepanjang 15 Km dibawah permukaan laut, juga menciptakan gugusan Pulau Panjang setinggi 146 meter dan Pulau Sertung setinggi 300 meter dari permukaan laut, serta Korban jiwa : 36.417 jiwa, 165 Kota pemukiman luluh lantak hilang dari permukaan bumi, 132 desa porak poranda, tsunaminya terasa hingga Hawwai dan pantai Barat Amerika Serikat, suara ledakannya terdengar hingga Perth Australia yang berjarak 3110 km dan sisi barat Rodreguis dekat Mauritus yang berjarak 5000 km, suhu rata rata global turun hingga 1,2 derajat Celcius sehingga bumi sempat gelap gulita tertutup abu vulkanik.
Setelah kejadian tersebut, beberapa lama kemudian Anak krakatau mulai muncul ke permukaan laut sejak 26 Januari 1928 dengan ketinggian sekarang ini mencapai 230 meter dan terus akan bertambah tinggi, dengan penambahan 4 cm / thn, masyarakat aceh pernah merasakan bencana tsunami pada tahun 2004 yang demikian dasyat, sementara Tsunami merupakan bagian dari bencana yang menyertai terjadinya letusan gunung berapi Krakatau yang letaknya ditengah-tengah selat Sunda. Dalam sejarah tercatat letusan Gunung Krakatau merupakan terdasyat dalam sejarah Vulkanologi, beberapa tahun dampaknya masih terasa menimbulkan gangguan cuaca di daerah lainnya.
Pada masa itu Banten mengalami berbagai cobaan, setelah Kesultanan Banten dihapuskan oleh Daendels, rakyat Banten kehilangan tempat bersandar, meskipun berstatus tinggi dan sangat terpandang dalam masyarakat, para keturunan Sultan sudah tidak berkuasa lagi. Sehingga sebagian besar membaur pada masyarakat dan menanggalkan Gelar Kebangsawanannya, serta menyamarkan identitasnya. Karena Gelar Kebangsawanannya dianggapnya sebagai gelar restu dari pemerintah Kolonial Belanda dan siapa saja boleh menggunakan asal mengikuti kemauan Pemerintah Kolonial Belanda. sehingga para keturunan bangsawan/kesultanan mereposisi diri menjadi Tokoh Ulama yang akhirnya lebih diterma Rakyat Banten, karena memang Tokoh Pendiri Kesultanan Banten pun pada mulanya berperan sebagai tokoh penyebar Agama Islam yang lebih berperan sebagai Tokoh Ulama. Sehingga pada masa itu rakyat Banten membutuhkan figur dan Tokoh serta kelompok yang mampu memfasilitasi mewujudkan visi dan misi perjuangannya yang sesuai dengan aqidah dan Ideologinya.

Sementara pemerintah Kolonial, sangatlah berbeda baik Aqidahnya maupun Ideologinya. Pada masa pasca runtuhnya dan dihapuskannya kesultanan Banten Oleh Deandels dan Raffles, di Banten terjadi kevakuman kekuasaan. Disatu sisi kesultanan Banten telah tiada, sementara pembenahan Birokrasi oleh Pemerintah Kolonial belum berjalan tertib pasca dibubarkannya VOC, sehingga membuka ruang gerak bagi berbagai elemen masyarakat untuk melakukan perlawanan, meneruskan perjuangan keluarga Besar Kesultanan Banten, terdapat diantaranya berjuang untuk menegakkan kembali berdirinya kesultanan Banten. Tujuan perjuangan Ki Wasyid, salah satunya adalah mendudukkan Tubagus Ismail sebagai Sultan Muda Banten/pemimpin di Banten, disamping yang memang memiliki agenda sendiri misalnya mengambil keuntungan pribadi atau kelompoknya dari berbagai peristiwa pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Belanda.

Sebelum peritiwa Perlawanan Ulama dan Petani Banten yang dipimpin Ki Wasyid dan rekan-rekannya, berbagai peritiwa baik sifatnya sporadis maupun perjuangan yang terkoordinir telah terjadi di Bumi Banten. Namun yang skalanya terbesar dan serentak serta terkoordinir, hanya peristiwa yang lebih dikenal dengan sebutan Geger Cilegon yang dicatat dalam sejarah karena mengakibatkan banyaknya jatuh korban, serta tercatat beberapa tokoh masyarakat dan Ulama pada zamannya yang diasingkan dan di buang ke beberapa wilayah di Nusantara. Selain diantaranya ada pula yang digantung oleh pemerintah kolonial Belanda. Sehingga pandangan rakyat Banten yang berkarakter pemberontak sengaja dihembuskan oleh Pemerintah Kolonial maupun pada masa Pemerintah Republik Indonesia merdeka, baik periode Orde Lama maupun orde Baru. Sehingga perjuangan untuk menjadi Provinsi tersendiri lepas dari Jawa Barat pun memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit, terlebih yang bertujuan merestorasi kesultanan Banten agar menjadi Simbol Budaya maupun pemersatu Masyarakat Banten Jauh Asap dari Api.

Perlawanan yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi oleh kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan kekuasaan terhadap kependudukan Belanda di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) yang dampaknya menimbulkan gelombang laut dan menghancurkan daerah Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat semakin menjadi-jadi.

Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta kepada selain Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala tersebut pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,5 gulden.
Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkannya menara mushola di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan karena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda berbaur dengan penderitaan rakyat.

PERLAWANAN
Perlawanan besar pun dilakukan. Perlawanan ini dipimpin oleh Ki Tubagus Ismail dan KH. Wasyid dan melibatkan sejumlah ulama dan jawara dalam Geger Cilegon, membuat rakyat bangkit melawan Belanda. Insiden ini dilakukan untuk menyerang orang-orang Belanda yang tinggal di Cilegon. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.
Ki Wasyid yang selanjutnya pemimpin pemberontakan melakukan perang gerilya hingga ke ujung kulon, sedangkan yang lain dihukum buang.

Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukittinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Manado/Minahasa, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon, dan Saparua. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang.

AHMAD BAHRUDIN

About Admin

Check Also

Sejarah Kopi

COFFEE AND HISTORY Sejarah kopi tentang dari mana dan siapa penemunya memang tidak diketahui pasti. ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *