Home / Dakwah / Post Power Syndrome Keturunan Datu Soppeng

Post Power Syndrome Keturunan Datu Soppeng

Post Power Syndrom Keturunan Datu Soppeng
via https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/70/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Jonge_vrouwen_dansen_het_figuur_%27Budjang_Djaga%27_te_Sopeng_Celebes_TMnr_10003448.jpg

Latemmamala adalah Datu pertama Soppeng, diangkat sebagai tampuk pimpinan pada tahun 1261. Datu adalah gelar bagi pemimpin tertinggi, saat ini setara Bupati. Saat itu Soppeng masih dalam bentuk kerajaan.

Datu sebagaimana pemimpin lainnya sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Setiap keputusannya merupakan titah layaknya titah Raja. Keluarga dan keturunannya begitu disegani.

Pewarisan tahta Datu diwariskan layaknya pemerintahan kerajaan lainnya, turun temurun diduduki oleh anak keturunannya sendiri. Mencalonkan anak mereka, kemudian para tetua bermusyawarah untuk menentukan pilihan. Pun dengan beberapa jabatan di wilayah-wilayah kecil (setara kecamatan) ditunjuk dan diangkat dari Kelurga Datu.

Memasuki masa proklamasi Kemerdekaan Indonesia, riak-riak pengubahan bentuk pemerintahan tak mempengaruhi budaya pemilihan dan pengangkatan Datu di Soppeng.

Hingga pada masa Peralihan Orde Baru ke Masa Pemerintahan Demokrasi Terpimpin, pemilihan Datu pun mulai menampakkan warna. Beberapa kalangan bawah mencoba menaiki anak tangga yang seyogyanya tidak mereka datangi.

Adanya pernikahan Anak Datu (golongan Darah Biru) yang menikah dengan rakyat biasa menyebabkan golongan bawah tersebut merasa memiliki hak untuk masuk dan duduk di kursi pemerintahan.

Meski begitu, budaya yang mengakar kuat tak memberikan celah. Sehingga, walaupun mereka (keluarga non-darah biru) diizinkan tinggal dan berbaur dalam keluarga Datu, nama-nama usulan untuk menjadi penerus pimpinan tak pernah diloloskan.

Hingga saat ini di Masa Demokrasi, Tokoh yang akan menjadi Pemimpin Daerah/Bupati masih menyisakan kenangan akan kepemimpinan Darah Biru. Yang memiliki gelar Andi, selalu lebih mudah melenggang, dan mereka memang mendapat dukungan yang baik dari masyarakat.

 

Kembali ke era pemerintahan Datu,

Konon karena begitu dihormati, sang Pemimpin ketika menjabat tak segan mengklaim wilayah kekuasaannya menjadi tanah kepemilikan.

Ketika Lembaga Administratif Negara mulai menentukan batas-batas wilayah, kemudian diharuskannya tanah kepemilikan memiliki sertifikat, di situlah pejabat daerah mulai menentukan batas miliknya. Iya, sang pejabat mulai mengklaim lahan kekuasaan, cukup dengan mengacungkan telunjuk, menunjuk setiap lahan yang diinginkan kepada petugas Administrasi, maka jadilah, lahan itu menjadi miliknya, meski tanah tersebut telah turun temurun digarap oleh masyarakat setempat. Masyarakat pun menyerahkan tanah garapan mereka, dengan alasan penghormatan, mereka tak punya daya untuk menolak.

Anak keturunan Datu hidup sejahtera, mereka dimanjakan dengan pelayanan dari rakyatnya.

Dari sana lahir generasi ‘manja’. Segala kemudahan hidup membuat mereka lalai pada pendidikan. Ada juga yang melanjutkan pendidikan, tapi hanya sedikit saja.

Memasuki era globalisasi dan pasar bebas, keturunan Datu tak mampu bersaing. Beberapa jabatan diduduki oleh golongan berijazah. Power Datu mulai meredup. Satu demi satu pucuk pimpinan tergantikan. Jabatan Struktural Daerah telah bersyarat gelar pendidikan. Ijazah pendidikan formal yang tak banyak dimiliki oleh generasi Datu.

Generasi demi generasi terus berlanjut. Mereka yang tak memiliki skill hidup mengandalkan warisan. Harta nenek buyut yang tadinya terhampar luas kini terpecah oleh anak cucu.

Sedikit demi sedikit harta habis terbagi. Sebagian dari mereka bertahan hidup dengan menjual warisan. Anehnya, merasa masih golongan eksklusif, ‘darah biru’ ini merasa tak pantas jika harus menjadi bawahan rakyat non-darah biru. Jadilah mereka tak mau bekerja. Doktrin yang menyesatkan. Namun itu adalah prinsip hidup mereka.

Keluarga Darah Biru terkenal Royal. Dahulu, rakyat biasa yang bekerja untuk Keluarga Datu (ata/pembantu) akan diberi makan oleh keluarga empunya. Kini, demi mempertahankan budaya tersebut, agar memiliki “ata”, keluarga Darah Biru ini mempekerjakan orang-orang disekitarnya. Selain mengolah lahan keluarga juga mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga.

Besar pasak daripada tiang. Tak berilmu dalam manajemen keuangan. Harta yang melimpah pun menipis.

Ritual-ritual adat tertentu, seperti Mappadendang (tabuhan gendang dan pagelaran tari-tarian) pada saat panen, Mabbaca doang (membaca do’a dan seserahan), Attauriolong (menggelar acara sesajen untuk leluhur) berusaha dijaga dan dilestarikan. Biaya setiap acara tersebut cukup besar.

Dahulu, ketika hajatan di Saoraja (rumah datu/keturunan Datu) digelar, para ata akan membantu menyiapkan segala keperluan, temasuk ikut menanggung biaya hajatan tersebut. Mereka datang ke Saoraja membawa banyak sekali hasil panen sawah atau hasil kebun yang sekiranya cukup untuk menjamu tetamu Sang Keluarga Datu. Kini karena tak lagi memiliki ata, atau lebih tepatnya tak ada lagi yang hendak menghambakan diri, maka biaya hajatan ditanggung sendiri oleh sang Penggelar Hajatan. Setiap hajatan digelar mewah meriah, dan semua itu menggunakan biaya besar.

Pesta pernikahan Anak Keturunan Datu pun tak kalah meriahnya. Malu lah apabila hajatan Bangsawan kalah oleh hajatan rakyat biasa. Tak tanggung-tanggung, sawah dan perhiasan warisan tergadai.

Datu, sebagai pertimbangan awal diangkatnya untuk mengayomi, melindungi dan menjaga persatuan rakyatnya, oleh oknum tertentu menimbulkan banyak penyimpangan. Datu yang dulunya begitu bijak, keputusannya dijunjung tinggi, kini malah berbalik memperdaya. Tak ada yang tahu kapan penyimpangan itu bermula. Tak ada yang tahu pada pemerintahan Datu keberapa rakyat mulai diperas dan ditekan agar menyerahkan hasil kerjanya pada keluarga Datu. Yang pasti kini warga malah menjauhi para keturunan datu. Kedatangannya kini tak dinantikan, keputusannya kini diabaikan, keberadaannya kini dihindari.

Seburuk itukah?

Iya, mereka kini bagaikan duri dalam daging.

Bagaimana hal tersebut terjadi?

 

Mari kita simak untuk menemukan jawabannya.

Salah satu Datu menjabat, melalui penuturan warganya saat itu, begitu keras menjalankan aturan, tak ada yang berani menatap matanya. Penduduk hidup rukun, para pelaku kejahatan diincar dan dihukum. Sebagai bentuk penghormatan kepada sang Datu, rakyat dengan sukacita menyerahkan harta benda bahkan anak-anak mereka. Karena sungguh suatu kehormatan jika hamba sahaya itu menjadi bagian dari keluarga Datu. Disisi lain, ada sanak famili sang Datu yang memanfaatkan keadaan. Dimanapun berhembus kabar keberadaan gadis yang berperawakan menawan, segera akan ia nikahi, setelah bertemu yang baru, gadis sebelumnya akan dikembalikan ke keluarganya. Selalu begitu, hingga rakyat mulai ketakutan, menyembunyikan anak-anak mereka. Sebagian yang lain mulai menarik diri tak lagi ingin menjadi ata. Segala sawah dan kebun milik Datu mereka kembalikan, dan memilih merantau.

Rakyat dilema, tak terima diperlakukan semena-mena namun tak jua mampu mengadukan pada Sang Datu karena telah diancam oleh Sanak Famili Datu tersebut akan diusir dan dipermalukan, akan dibuka aib tentang anak gadisnya. Meski sang Datu terkenal baik dan bijak, namun sebagian rakyat mulai menabur rasa ketidaksukaan pada keluarga Datu.

Datu nan bijak lalu digantikan lagi oleh penjabat selanjutnya. Rakyat mulai tak lagi taat. Banyak penduduk yang mulai membangkang. Berani menyekolahkan anak-anak lebih tinggi dari pendidikan Anak keturunan Datu. Kekuatan Datu pun melemah. Anak-anak yang telah menyelesaikn pendidikan kembali ke Daerah dan mulai mengisi Pos-pos Jabatan Struktural.

Sedikit demi sedikit Datu kehilangan Power. Telunjuk dan suaranya tak lagi bisa menggerakkan rakyatnya. Yang mampu mereka perintah hanya warga yang masih mengelola tanah atau lahan. Itupun tak lagi dengan sistem lama, penduduk mulai menarik tarif jasa sehingga hasil panen tak lagi mengikuti kehendak majikan tetapi membagi berdasarkan jasa dan biaya pengelolaan.

Banyak penduduk yang mulai menjalankan usaha mandiri. Sedang keluarga Datu yang hidupnya manja, tak ada usaha, tak ada pendidikan, hanya mengandalkan warisan, mulai menjual tanah warisan demi kelangsungan hidup. Yang membeli tanah pun dari kalangan penduduk sekitar yang usahanya mulai maju.

Keadaan pun mulai berbalik. Tak ada lagi sekat Tuan dan hamba. Meski begitu, keturunan Datu ini tetaplah merasa eksklusif, walaupun keuangan mereka mulai menipis, mereka tak mau bekerja karena menganggap dirinya tetaplah strata memerintah, tak mau diperintah. Tak sadar akan berputarnya roda kehidupan. Bisa jadi ada juga yang menyadari, tapi tersandung gengsi.

Keturunan Datu yang tak punya keahlian pun tak ada pendidikan tak mau jua bekerja, hidup seadanya, untuk bertahan hidup setelah semua warisan habis terjual kini mendatangi rumah-rumah untuk meminjam uang. Di warung-warung mereka banyak hutang.

Beberapa dari mereka layaknya penipu ulung. Sekedar meminjam, dan barang pinjaman tak kunjung kembali.

 

Saya lanjut yah tentang pernikahan Anak Datu dengan rakyat biasa

 

Nah, selayaknya nih Anak Datu itu dihargai Mahal, karena dianggap status tinggi, jadi yang berkeinginan meminang harus siap dimintai banyak, banyaaaaak sekali persyaratan.

Jika yang meminang sesama status Datu, mereka gak banyak syarat karena menganggap besan sudah tahu segala aturan. Berbeda jika besannya orang biasa, mereka akan diberikan catatan panjang seputar prosesi pernikahan ala Datu yang “harus” mereka jalankan.

Berawal dari sini, orang biasa yang mau di”hargai” setinggi Datu akan pasang harga semahal anak Datu.

Tingginya standar dan harga Datu membuat kebanyakan anak keturunan Datu menjadi perawan tua. Yang takut anaknya ikut-ikutan jadi perawan tua akan menerima pinangan orang biasa. Meski menikahkan anak dengan orang biasa tapi darah kebangsawanan mereka masih ada, dan ternyata jiwa menjajahnya juga masih ada.

Keluarga rakyat biasa diminta memenuhi segala tetek bengek pernak pernik prosesi pernikahan. Usai prosesi pernikahan lanjut lagi ketika punya anak, anaknya di aqiqah se”mewah” dan seribet adat Datu. Hingga keseharian pun, ketika sang Mertua atau besan menginginkan sesuatu, ringan saja mengatakan, “duh, Pung X mau makan ini, tolong dibuatkan yah”. Atau ” Pung Z suka baju ini, tolong dibuatkan yah..” buruknya, semua biaya ditanggung besan dari keluarga biasa.

Sang Datu merasa wajar “meminta”, itu haknya karena dia lebih tinggi, itu harga yang harus dibayar karena telah numpang darah “tinggi” sabagai Datu. Sang rakyat biasa pun merasa wajar “menunaikan” yah sebagai bentuk pengabdian.

 

————–

Ini sisi lain keturunan Datu. Saya melihatnya sebagai bentuk ke-dzaliman. Penghormatan cuma dalih dari kata penjajahan. Saya pernah menghadiri acara selamatan, tapi karena sang Datu ada di Ruang Tamu, saya disuruh lewat belakang, makan di dapur. Takut saya kurang ajar kalau lewat di samping Datu (cara jalan ada aturan, gak boleh membelakangi) atau Makan bersamaan dengan Datu.

Tepok jidat, saya langsung putar haluan balik ke rumah. Bukan cuma saya, tamu yng lain juga ditahan untuk tidak masuk, menunggu sang Datu menyelesaikan makan, ketika Datu pulang barulah para tamu dipersilakan masuk ke meja jamuan.

Kisah ini akan sangat bagus jika disertai Nama dan tahun kejadian, tapi menurut keluarga itu aib Datu, jadi jangan dituliskan. Karena itu saya menulisnya seperti mendongeng saja. Sekian, semoga bermanfaat.

 

Kulsap 18 September

 

Sri Nurpitriani

About Admin

Check Also

Pujian

Hal yang wajar kalau kita sebagai manusia sangat bahagia ketika mendapat pujian. Ini bisa semakin ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *