Diskusi Pakar komunitas ODOJ MITI Malam Jadi Rahib-Siang Jadi Singa (MJR-SJS) kali ini bertemakan “Bagaimana Mencari dan Menentukan Tema Riset S2 && S3” oleh Dr. Edi Suharyadi, engineer lulusan Nagoya University yang sekarang berkiprah di UGM. Yang dimodertori oleh Riska Ayu Purnamasari, S. Si
エディ スハルヤディ
Assalamualaikum wr. wb
gimana kabar semuanya?
semoga sehat walfiat
dan tetap semangat
pertama: sesuai dengan tema, maka apa yang saya sampaikan lebih kepada kaidah umum yang melatarbelakangi, bagaimana calon mahasiswa S2/S3 menentukan tema penelitian.
Saya tidak akan masuk pada diskusi yang spesifik, jika hal-hal yang sifatnya spesifik, mungkin nanti bisa perkaya pada saat tanya jawab Menentukan tema penelitian Untuk S2 dan S3.
(Degree by research, karena ada sebagian kecil yang degree by course) program S2/S3 tentu saja lebih fokus pada degree by research
Pengantar:
Karakteristik keilmuan (bidang kajian):
S1: Spektrumnya lebar tapi landai (tidak tajam)
S2: Spektrum sudah mulai lancip dan lebih tajam dibandingkan S1
S3: Spektrumnya lancip dan sangat tajam
Apa maksudnya: Semakin tinggi jenjang studi, maka bidang ilmu atau kajian yang kita kuasai semakin sedikit tapi semakin mendalam dan spesifik. Sehingga kita sudah harus merumuskan dari sekarang. Core-kompetensi kita nanti mau tentang apa? Tidak scattering alias terhambur ke sana kemari. Jangan sampai kita tahu banyak hal, kecuali bidang kita 🙂
Ada 2 hal penting yang harus diperhatikan:
(1) Substansi (materi kajian)
(2) Asal funding (beasiswa): Indonesia & LN
karena kecintaan kita pada tema atau minat tertentu, sering kita hanya fokus yang no (1) saja, padahal asal funding juga penting Untuk diperhatikan. Ada banyak riset tidak jalan karena tidak ada funding.
Kenapa asal funding? karena Untuk kasus Indonesia harus ada perlakuan khusus agar peluang Untuk mendapatkan beasiswa/fund tersebut cukup besar.
OK, kita mulai dari no (1) Content (substansi) riset alias materi kajian. Secara umum yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
(1) Linearitas bidang kajian (in-line) antara S1, S2 dan S3
(2) Fokus
Tema yang akan dikaji harus fokus pada masalah yang spesifik.
Kenapa linearitas penting? karena ini menyangkut kelancaran selama kita melakukan penelitian, jika scattering (terhambur) kemana-mana, maka kemungkinan tidak berjalan mulus akan besar, karena kelancaran riset juga dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan yang kita punya.
Bagi lulusan S1 Untuk melanjutkan ke S2, linearitas ini sebenarnya tidak terlalu kaku. Masih boleh agak cair, tapi minimal pengalaman riset saat S1 ada yang sedikit beririsan.
Saat saya S1, tema penelitian tentang kajian pada “Material Isolator”
S2: “Material Magnetik”
S3: “Material Magnetik”
Dari lulus S1 masuk ke S2, agak sedikit berbeda, tapi ada ilmu atau kajian yang beririsan, yakni sama-sama kajian Material, hanya jenis materialnnya saja
yang beda.
Contoh lagi:
S1: Hama dan penyakit pada tanaman Anggrek
S2: Virus Melon
S3: Virus Melon
Dari S1 ke S2, meskipun tidak persis sama, tapi ada kajian dan latar belakang keilmuan yang beririsan.
Sehingga bekal keilmuan yang pernah kita kaji saat S1, sedikit banyak akan memberikan kontribusi pada riset saat S2.
Kenapa S1 ke S2 tidak sekaku saat dari S2 ke S3, karena lulusan S1 ketika mereka ingin memperdalam ilmuanya dengan studi lanjut, maka mereka punya waktu 5 tahun Untuk belajar (S2 dan S3). Tapi jika lulusan S2 lanjut ke S3, mereka hanya punya 3 tahun (S3) Untuk memperdalam ilmunya. Sehingga idealnya, S2 dan S3 harus sama persis.
Bagaimana dengan linearitas jurusan/departmen? S1: jurusan Kimia, apakah S2 atau S3 harus jurusan Kimia?
Jawabannya: tidak harus
Linearitas bidang ilmu (tema riset) jauh lebih penting dibandingkan linearitas jurusan. Contoh:
Saya S1 di Jurusan Fisika dengan bidang kajian (tema riset): Material Isolator. Melanjutkan S2 di program pascasarjana Fisika UGM, tema penelitian: Material Magnetik Kemudian berangkat ke Jepang, S2 lagi di departmen of Applied Chemistry, Waseda University, tema penelitian: Material Magnetik Lanjut S3 di department of Electrical Engineering & Computer Science, Nagoya University, tema tetap: Meterial Magneti
Jurusan tidak linear, tapi bidang kajian (tema riset) linear. itu sangat mungkin di LN karena masuk S2 dan S3, kita tidak memilih jurusan sebagaimana masuk S1, tapi yang kita pilih adalah tema (bidang kajian)
(2) Fokus
Tema yang akan dikaji harus fokus pada masalah yang spesifik. Degree by reserach mengharuskan kita Untuk melakukan riset-riset yang sangat spesifik. Harus dibatasi, tidak boleh melebar atau terlalu luas. Contoh: Riset saya S2 dan S3: Material Magnetik Untuk Memory devices. Ini sangat spesifik, karena magnet bisa diaplikasikan ke banyak hal, tidak hanya Untuk memory. Bekal-bekal ilmu yang sifatnya fundamental persis sama, tapi ketika advanced, ada kalanya kajiannya mulai “berpisah”.
Contoh lain: Virus tropis pada Melon. Mengkhususkan virus yang tumbuh di daerah tropis, dan Untuk spesifik melon. Fokus juga akan membantu kita Untuk publikasi, terutama Untuk riset S3 yang mewajibkan publikasi internasional. Riset yang terlalu umum, akan sulit Untuk publikasi.
Bagi periset pemula (Doctor student fellow/researcher, Postdoctoral reseracher), risetnya biasanya sangat spesifik. (maaf, Master student tidak termasuk periset pemula, tapi baru belajar menjadi periset)
Tapi bagi pakar dan expert (Professor) yang jam terbangnya sangat sangat banyak, maka sangat mungkin mereka membuat paper yang umum & fundamental. Coba baca paper-paper di Nature, maka karakternya seperti itu, dan periset pemula bisanya hampir kesulitan Untuk publikasi di Nature, tapi kalau sudah spesifik, ada Nature Material, Nature Nanoteknology, Nature Communication (short note), dll. OK, itu bagian yang pertama, yakni (1) Substansi
Selanjutnya yang kedua, darimana funding itu berasal. ini harus dipertimbangkan juga. Saya bagi menjadi dua:
(1) Asal funding (beasiswa) dari LN
(2) Asal funding (beasiswa) dari Indonesia.
Note: yang saya maksud adalah darimana funding itu berasal, bukan dimana kita melakukan riset (S2/S3)
Bisa saja kita S2/S3 di LN, tapi asal funding-nya dari Pemerintah Indonesia, (1) Asal funding (beasiswa) dari LN. Tema apa saja, bisa diadopsi dari tema2 yang sifatnya hulu (fundamental) hingga hilir (aplikatif), lebih ditekankan pada (a) kekuatan kajian & latar, (b) originalitas, dan novelty (state of the art).
Yang asal funding dari LN, harus lebih bersyukur, relatif lebih bebas & liberal dalam menentukan tema-tema penelitian, tema apa saja OK. Lebih ditekankana pada:
(a) kekuatan kajian & latar belakang
(b)originalitas, dan novelty (state of the art)
(2) Asal funding (beasiswa) dari Indonesia
Selain seperti yang tersebut pada no (1), tema-tema yang dipilih harus bisa diarahkan pada skala prioritas pengembangan Iptek di Indonesia, tema risetnya harus digiring atau dicari benang merahnya pada bidang-bidang prioritas sebagai berikut:
- Bidang ketahanan pangan secara luas (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan);
- Bidang kesehatan dan obat-obatan;
- Bidang energi baru dan terbarukan;
- Bidang pertahanan dan keamanan;
- Bidang teknologi informasi dan komunikasi;
- Bidang kebaharian dan kelautan;
- Bidang seni dan budaya;
- Teknologi dan manajemen transportasi; dan
- Material maju
Bidang-bidang tersebut diadopsi oleh berbagai skema funding di bawah pemerintah, baik Dikti maupun LPDP. Saya tahun ini menjadi reviewer LPDP maka ada catatan khusus terkait dengan bidang-bidang tersebut masuk atau tidak meskipun tidak signifikan, tapi menjadi bahan pertimbangan juga di skema Dikti juga begitu terutama Untuk S3 Dikti. Temanya masuk dalam katagori bidang-bidang di atas atau tidak ada kolom seperti itu.
Terakhir:
kemahiran kita memilih tema riset & menuangkannya dalam rencena penelitian, dan tulisan, sedikit banyak dipengaruhi oleh “jam terbang” kita membaca journal-journal International. So, banyak-banyaklah baca journal-journal terbaru, jadikan membaca journal-journal Internasional menjadi makanan kita sehari-hari. S2 apalagi S3, baca buku-buku teks harus mulai seimbang dengan Journal. Saat S1, bacaan kita masih didominas buku-buku teks, tapi ketika S2 apalagi S3, selain buku teks, baca juga journal. Makanan pokoknya buku teks, ngemilnya adalah journal, ngemil kita mungkin tidask banyak tapi lebih sering dibandingkan makanan pokok.
Kesimpulannya: Bagi calon/mahasiswa S2 atau yang siap-siap Untuk S3, atau yang baru mulai S3, berapa paper yang sudah dibaca dalam 1 hari?
That all
Riska Ayu Purnamasari, S. Si:
- Pertanyaan dari Susetio:
Saya mau bertanya dalam tema riset Untuk pendanaan dari perusahaan seperti apa? Lalu, kalau tips agar sesuai lebih baik ikut proyek dosen atau kita sendiri. Namun kalau biaya pasti jauh lebih baik ke dosen.
エディ スハルヤディ:
Kalau dari perusahaan, secara umum semangatnya dengan skema dari pemerintah. Dari perusahaan biasanya ada 2 skema:
(1) jika fund itu dari HRD, maka tidak ada pilihan, harus sesuai dengan apa yang diingini oleh perusahaan. Biasanya perusahaan sudah punya road-map pengembangan perushaan dan SDM, semuanya harus menyesuaikan.
(2) dari CSR
ini relatif lebih bebas, tapi CRS juga kadang bermain pada isu. Isu-isu lingkungan, isu-isu global warming, isu-isu kesamaan gender, dll. Tema harus juga diarahkan pada isu-isu yang menjadi konsen CSR. Itu biasanya peusahaan2 di Indonesia, CSR perusahanan di LN, tidak sekatat itu. Posisinya sama dengan poin (1) saya tadi di atas (saat materi), lebih bebas.
Pertanyaan kedua: kalau tips agar sesuai lebih baik ikut proyek dosen atau kita sendiri. Namun kalau biaya pasti jauh lebih baik ke dosen. Kalau di LN, riset-riset biasanya sudah otomatis ikut project Lab. Project2 Lab di LN biasanya long-term, kita tinggal ikut saja. Idealnya, di DN juga begitu ikut project Lab/Dosen yang temanya juga tentu saja sesuai dengan bidang minat kita, jangan terlalu pragmatis, yang penting ada fund-nya. Tapi sesuaikan juga dengan road-map diri kita, core-kompetensi apa yang hendak ingin bangun dalam diri kita.
Atau jangan-jangan sebagian besar kita belum menentukan core-kompetensi apa yang akan kita bangun?? Heheh jadinya scattering, pakar di segala bidang. That all
Riska Ayu Purnamasari:
- pertanyaan dari Lusiana:
- apakah perbedaan yang mendasar antara penelitian s1-s3?
- Adakah pengaruh dari penelitian yang dilakukan di s1 or s2 pada dunia kerja dan Untuk mendapatkan beasiswa Untuk melanjutkan kuliah??
- Apakah penelitian yang kita lakukan di s1 or s2 akan jadi pertimbangan seorang profesor memberikan LOA?
- Judul penelitian s1/s2 itu sejatinya si mahasiswa sendiri yang berfikir keras Untuk mendapatkan judulnya atau memang boleh minta ke dosen??
- Apa perbedaan skripsi/tesis dengan jurnal?? Bolehkah dalam skripsi referensinya dari tesis dan sebaliknya?? Atau tesis referensinya dari disertasi??
エディ スハルヤディ:
1.S1, tIdak original apalagi menuntukut ada novelty . . . LebIh banyak pada penguatan kajian keiilmuan Untuk memperkaya saja menjelaskan fenomen. S2: originalitas 50%, tidak 100% original. Bukan kajian yang baru, tapi dia bisa memberikan presepektif yang lain pada kajian tersebut. S3: original, karena dituntukut Untuk publikasi. Tidak original, maka tidak bisa publikasi. Dan tentu saja ada novelty (keterbaruan).
- Adakah pengaruh dari penelitian yang dilakukan di s1 or s2 pada dunia kerja dan ut mendapatkan beasiswa ut melanjutkan kuliah??
Ada, tentu saja ada. Untuk dunia kerja: akademisi atau peneliti di R & D Perusahaan. Kalau Untuk melanjutkan studi, juga jelas ada dengan asas linearitas seperti yang saya sampaikan di atas. Di LPDP, linearitas dipertimbangkan. Selain itu, pengaruhnya pada pengalaman, karena itu akan menentukan kelancaran studi S2/S3nya. Saat saya menyeleksi calon mahasiswa S3 dengan beasiswa 3 tahun maka saya harus yakin bahwa mahasiswa tersebut bisa lulus 3 tahun, dilihatlah pengalaman- pengalaman risetnya saat S1 dan S2.
- Apakah penelitian yang kita lakukan di s1 or s2 akan jadi pertimbangan seorang profesor memberikan LOA?
Iya, lebih-lebih Untuk S3. Kenapa? sudah saya jelaskan di atas, tentang asas linearitas.
- Judul penelitian s1/s2 itu sejatinya si mahasiswa sendiri yang berfikir keras Untuk mendapatkan judulnya atau memang boleh minta ke dosen??
Jika ikut project Lab, biasanya tema besarnya (payungnya) sudah jelas. Tapi secara spesifik seperti judul, latar belakang, dst. itu mahasiswanya yang menentukan.
- Apa perbedaan skripsi/tesis dengan jurnal?? Bolehkah dalam skripsi referensinya dari tesis dan sebaliknya?? atau tesis referensinya dari disertasi??
Kedalaman tulisan dan kajian, cakupan, format tulisan… beda. Tulisan kita di jurnal, tidak perlu mensitasi tesis/disertasi kita sendiri.
That all
Riska Ayu Purnamasari:
Dari Lusi ada tanggapan? -> berarti Jurnal bisa jadi skripsi atau tesis atau disertasi yang tulisannya di sesuaikan dengan sistematika jurnal??
エディ スハルヤディ:
Sangat bisa. 3 jurnal saya = 1 desertasi S3 saya
Riska Ayu Purnamasari:
- Pertanyaan dari Faisal Anggi:
Apakah ketika kita menerima beastudi dari lembaga pemerintah seperti LPDP adakah kewajiban Untuk menerapkan riset kita di Indonesia atau tidak?
エディ スハルヤディ:
Idealnya begitu, karena tema-tema riset diarahkan pada bidang-bidang prioritas pengembangan IPTEK pemerintah.
- Bidang ketahanan pangan secara luas (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan);
- Bidang kesehatan dan obat-obatan;
- Bidang energi baru dan terbarukan;
- Bidang pertahanan dan keamanan;
- Bidang teknologi informasi dan komunikasi;
- Bidang kebaharian dan kelautan;
- Bidang seni dan budaya;
- Teknologi dan manajemen transportasi; dan
- Material maju
エディ スハルヤディ:
Mungkin pertanyaannya bukan “adakah kewajiban”, lebih pada semangat Untuk berkontribusi pada Indonesia. Maka kita semua ingin berkontribusi pada negeri ini. Semangat kontribusi ini yang akan membuat energi kita tidak akan pernah habis, energi untuk melakukan penelitian diantaranya.
That all
Riska Ayu Purnamasari
- Pertanyaan dari Fitria
Saya ingin bertanya, tadi di dikatakan kalau master itu sebenarnya baru belajar menjadi periset. Bagaimana jika saat S1 sangat minim sekali pengalaman riset dan akhirnya ingin belajar riset. Mulai darimanakah Untuk membangun jaringan? Harus tanya-tanya ke dosen atau langsung buat sendiri yang kecil kecil dengan bantuan teman? Bagaimanakah step yang paling efektif Untuk belajar riset? Karena untuk memulainya cukup membingungkan.
エディ スハルヤディ:
Belajar menjadi periset saat S1 ya? Sebelum ke sana, sangat penting untuk membuat road-map diri kita dulu. 20 tahun yang akan datang kita ini mau ada dimana? Jika ternyata dari road-map itu ternyata mengharuskan kita untuk mulai membangun track-record dng pengalaman- pengalaman riset. Maka sejak S1, ikutlah PKM. PKM adalah latihan awal kita membuat proposal, mengekskusi dalam bentuk aktivitas ekspemerimen, dan menungakan hasil-hasil eksperimen tersebut melalui laporan, kemudian mempresentasikanannya. Kelak aktivitas peneliti tidak akan jauh-jauh dari situ. Kegiatan selama S1 butuh pendamping, butuh mentoring. Banyaklah berdiskusi dengan Dosen, biar tidak tersesat. Seorang mahasiswa S1, bisa 2 tahun berturut-turut mendapatkan skema PKM. idealnya, PKM tsb berlanjut ke tema skripsi, kurang lebih begitu..
That all
Riska Ayu Purnamasari:
- Pertanyaan dari Devy:
Saya ingin tanya ttg linieritas Pak (agak panjang uraiannya tapi hehe). Tidak usah perkenalan identitas dan tema riset ya Pak, karena Bapak sudah kenal dan tau hehe..
Kalau bagi mahasiswa fisika seperti yang gerak di biosensor (seperti yang Bapak pahami dh baik) dan ingin lanjut di bidang yang sama (karena S1 n S2 memang di bidang yang sama persis), saya menemui kebimbangan nih Pak. Mau lanjut memperdalam di tema sensornya atau teknik sensingnya. Kalau di tema sensornya (seperti rekayasa surface, how to improve the sensitivity, find a new active layer, atau bagaimana fabrikasi sensor chip, dll) kan fisika banget tuh. Walaupun judulnya nanti departemennya apapun tapi tetep fisika banget.
Sedangkan kalau masalah teknik sensing (misal how to find the appropiate ligand untuk material yang mw saya sensing agar imobilitas di sensor surfacenya bagus) itu nanti jatohnya ke bidang biokimia kebanyakan. Namun, ini sangat penting mengingat waktu awal S2, saya mecari-mencari pakar di UGM yang dapat membimbing saya tentang hal ini ga ketemu. Yang pernah saya hubungi menolak untuk diskusi lebih lanjut dengan saya dengan alasan bukan bidangnya walaupu beliau-beliau terkenal jago di reaksi imunokimia. Dari situ saya simpulkan, kedepan untuk mengembangkan biosensor di Indonesia agak sulit kalau sedikit yang menguasai teknik imobilisasi macam ini, yang spesifik untuk pengembangan biosensor. Maka saya pengen bisa disini juga he..
Nah, menurut pendapat Bapak ini gimana hehe..Atau bisa digabung?
エディ スハルヤディ:
Untuk bidang Devi, saya punya presepektif lain. Kafaah yang sebenarnya sudah mulai dibangun Devy selama ini adalah Optics dan interaksi antara gelombang electromagnetic & partikel. Kebetulan saja sekarang aplikasinya untuk sensor. Apakah kafaah yang sdh dibangun itu hanya untuk sensor, tentu saja tidak. Lihat Prof. Kamsul.. apa kafaah beliau, sensor? Bukan. Kebetulan saja saat ini yang dikembangkan adalah SPR Sensor. Tapi kafaah sebenarnya adalah surface physics dan interaksi antara gelombang electromagnetic & matter. Dari kafaah/kompetensi yng Devy mulai bangun sputar Optics dan interaksi antara gelombang electromagnetic & partikel, silahkan dikembangkan kemana-mana, tidak harus ke Sensor. Banyak hal yang bisa dibidik, kajian SPR sendiri khan hanya sedikit yang diaplikasikan ke Sensor. Jangan fokus ke Sensornya, nanti malah kesulitan. Saat ingin berkontribusi pada riset2 di Indonesia
Devy Pramudyah Wardani:
Hmm jd lebih ke basic competency-nya ya Pak? Atau core comoetency, bukan aplikasi?
エディ スハルヤディ:
Bagi mahasiswa Fisika, saya sarankan itu. Itu akan lebih memudahkan ruang gerak kita nanti saat kembali ke Indonesia, jangan terlalu terjebak di hilirnya. Apalagi karakter riset-riset di Indonesia selalu menutut produk dan bisa dihilirkan. Maka bekal-bekal yang sifatnya fundamental (hulu) atau agak dibawa sedikit ke tengah, itu sangat penting.
Dengan bekal itu, maka kita bebas berkreasi apa saja saat pulang ke Indonesia. Contoh bidang kajian saya. Magnetic Material untuk Memory. Kalau saat berkutat di memory-nya, maka pulang ke Indonesia saya tidak bisa apa-apa. Karena memory tidak masuk dalam daftar prioritas. Tapi saya lebih membangung hulu atau dan fundamentalnya, yakni kajian Magnetic Materialnya. Begitu pulang, ternyata bisa mnyesuaikan dengan apa yang diingin pemerintah. Mau dibawa ke Ketahanan Pangan OK, ke Obat-obatan OK, ke rekayasa material ayo..asal tidak dibawa ke Humaniora saja
That all
Riska Ayu Purnamasari:
- Pertanyaan dari Siti Rahmah
Assalamua’alaikum, saya siti, saya mau bertanya apakah sesorang yang S1 nya pendidikan kimia lanjut S2 kimia mipa itu tergolong linear?? menyambung diskusi tadi, kalo ikut project lab atau dosen apakah tidak ada kendala Untuk publikasi nantinya?? soalnya kan hasil semua pekerjaan di serahkan ke project,, sedangkan jika penerima besis terkadang ada syarat publikasi internasional sebagai nama pertama. Mohon penjelasannya.
Jika sesorang yang S1 nya pendidikan dan meneliti seputar pendidikan dan S2 meneliti material apakah kemungkinan sulit utk mendapatkan besis S3 karna terkait pengalaman penelitian??
エディ スハルヤディ:
S1 ke S2, linearitas tidak terlalu kaku. Masih agak fleksibel, tapi minimal ada irisannya. Pendidikan Kimia ke S2 MIPA Kimia, its OK.. it doesn’t matter. Ilmu-ilmu yang dipelajari ada saling beririsan, Tapi kalau S1 dan S2 pendidikan Kimia, dan risetnya juga tentang pendidikan kimia, kemudian S3 di Kimia MIPA, nanti akan terseok-seok.
Menyambung diskusi tadi, kalo ikut project lab atau dosen apakah tidak ada kendala untuk publikasi nantinya?? soalnya kan hasil semua pekerjaan di serahkan ke project,, sdgkn jika penerima besis terkadang ada syarat publikasi internasional sebagai nama pertama. mohon penjelasannya.
エディ スハルヤディ:
Inilah salah kaprahnya di Indonesia..kemarin sudah kita bahas di RCT MITI pekan lalu, dimana saya juga jadi pematerinya. Jika yang melakukan riset dan menyiapkan draftnya adalah mahasiswa, maka nama pertama adalah mahasiswa, bukan dosennya. Tapi sebagian dosen pinginnya jadi penulis pertama karena nanti terkait poin dan kredit itu namanya Dosen tidak tahu diri dan tidak punya etika ilmiah.
Hadi Teguh Yudistira:
Seharusnya dosennya cukup jadi corresponding author saja
エディ スハルヤディ:
Pada sebagian besar jurnal Internasional, supervisor itu lebih mulia ditempatkan sebagai the last author
Siti Rahmah:
Jadi ketika penelitian itu di bawah project, dan bahkan judul telah di berikan oleh dosen, maka mahasiswa tidak berhak mempublish risetnya kah??
エディ スハルヤディ:
kaidahnya adalah siapa yang melakukan riset dan siapa yang menyiapkan draft/tulisannya. Semua mahasiswa bimbingan saya mengerjakan project saya. Tahun ini ada 11 publikasi International (Proceeding paper yang terindex Scopus), pada ke11 paper tsb, saya sebagai penulis terakhir. Penulis terakhir dari sisi angka kredit Dosen, nilainya sangat kecil, tidak ada apa-apanya dibandingkan penulis pertama. Tapi karena publikasi bukan untuk point atau coin, saya enjoy-enjo saja.
Siti Rahmah:
Bahkan jika semua pendanaan dr project itu, apakah kaidahny tetap sama?? Tanggap harus seijin moderator (membiasakan mengacungkan tangan dulu, ditunjuk, baru bicara) hehe
Riska Ayu Purnamasari:
- Dari Rhedo
Untuk yang mau menjadi profesional, misal saya di bidang IT, seberapa perlukah untuk melanjutkan study? Karna saya pernah diwawancarai seorang CEO tp beliau masih S1 dan beliau mengatakan kalau Untuk main di industry IT yang dituntukut pertama adalah skill dan pengalaman, bukan tingkat pendidikan.
エディ スハルヤディ:
Pelamar LPDP juga ada yang kalangan profesional, artinya nanti akan bekerja sebagai profesional juga. Pertanyaan saya pada mereka saat interview adalah: seberapa pentingnya studi lanjut S2 atau bahkan S3, ada pekerjaan anda kelak? Tidak bisa menjelasakan, GAGAL. Jadi ya begitu.. kalau level S2 masih boleh, tidak kaku. Tapi di level S3, karena sudah sangat spesifik, spektrumnya sempit tapi sangat tajam, untuk beberapa profesi, ya tidak diperlukan. Begitu kurang lebih ya. Tidak harus semuanya S3, ada yang berperang, dan ada di rumah mengkaji kita begitulah kira-kira
Mohd Rhedo Margen:
Berarti jika Untuk menunjang karir profesional cukup dengan pengalaman dan sertifikasi keahlian saja, maka sekolah lagi tidak harus ya Pak?
エディ スハルヤディ:
Betul sekali, maka tadi di awal saya katakan, sebelum menentukan mau sekolah lanjut atau tidak, tentukan road-map dirinya dulu, sekolah lanjut hanya salah satu strategi tergantung road-map seperti apa
Riska Ayu Purnamasari:
Alamat email bapak bisa dishare pak? Atau via fb boleh kah? *sy sering terinspirasi sm postingan bapak?
エディ スハルヤディ:
esuharyadi@ugm.ac.id
FB juga boleh
Kalau yang dari Jogja, ya ketemu langsung saja
Semoga sukses selalu, ilal liqo’ InshaaAllah
See u
Riska Ayu Purnamasari:
Alhmdulillah.. Terimakasih Untuk partisipasinya dari temen-temen di grup ini, semoga semakin dimudahkan niat dan langkahnya untuk yang ingin melanjutkan sekolah.. Semoga berkah ilmu dan usia..
エディ スハルヤディ:
Yang sudah di LN, jangan pulang sebelum S3 atau bahkan hingga Postdoctoral. S3 pulang ke Indonesia, pengalamannya kadang masih cetek 🙂 lanjut Postdoc. S3 saya 3 tahun, postdoctoral saya 5 tahun..
Mohd Rhedo Margen:
Quote of the day “Ada yang berperang, dan ada di rumah mengkaji kitab”.
Layaknya perang memang, ada yang pengatur strategi dan ada yang medan perang. Sama berdarah-darahnya, kalau yang ngatur strategi nya salah strategi, yang di medan perang habis juga
エディ スハルヤディ:
Kesimpulannya: menikah dan studi lanjut itu bisa disinergikan, . . . kaburrrrrrrrrrrr