Lanjutan tasqif dengan tema “Menentukan tema riset S2 dan S3” dengan pemateri yang berbeda, yaitu Eko Fajar Prasetyo, Ph. D
Riska Ayu Purnamasari:
Dr. Eko memiliki Perusahaan Versatile Silicon Technologies yang merupakan perusahaan integrated ciruit pertama di indonesia, dan beliau adalah lulusan dari universitas jepang
Eko Fajar:
Bismillahirrohmanirrohim, alhamdulillahirobbil ‘alamin. Asholatu wassalamu alla asrofil ambiyai mursalin. Wa ‘ala alihi washohbihi ajma’in. Ama ba’du.
Para pendengar(pembaca?) sekalian, terima kasih telah menyempatkan untuk bergabung dalam paparan saya bertema pemilihan tema penelitian untuk S1 dan S2.
Sebelumnya izinkan saya untuk memperkenalkan diri:
Nama : Eko Fajar Nurprasetyo Ph. D.
https://www.google.co.id/search?q=eko+fajar+nurprasetyo
Riwayat pendidikan:
* SMA 8 Jakarta
* Informatika ITB (6 bulan saja)
* S1 s/d S3 di Kyushu University Jepang jurusan Computer Science
Riwayat pekerjaan:
* Researcher di Information Ssystem, Information Technology and Nano Tech kyushu
http://www2.isit.or.jp/index.en.html
* Sony Semiconductor Japan
http://www.sony.net/Products/SC-HP/
dan setelah itu mendirikan perusahaan design Chip/IC di Indonesia
http://www.vsilicon.com/cms/ pada tahun 2006
Dan setelah itu perusahaan saya juga mendesain produk elektronika semenjak 2009 http://www.vs.co.id/.
Customer kami dari luar negeri terutama Jepang dan juga dalam negeri terutama dibidang IC design, telekomunikasi dan energy storage system/controller. Background keilmuan saya adalah Computer Science terutama dibidang Processor Design dan Computer Aided Design, dibidang tersebut teorinya banyak terutama teori kompleksitas dan komputasi.
Dan dilain pihak, harus mendesain suatu sistem komputer/processor yang bisa memenuhi syarat low-power, syarat cost dan performance. Sehingga bidang yang saya geluti memang perpaduan science yang dekat dengan engineering.
Itu yang saya geluti di Jepang semenjak S1 tahun ke 4, sehingga S3… dibidang yang sama terus. Dengan background tersebut saya sangat tertarik dengan yang namanya Monozukuri/membuat barang. Masuklah saya ke Industri setelah lulus S3. Dan pada waktu itu kebetulan Lab saya mempunyai keahlian pada optimasi embedded processor, yang pada saat itu sangat dicari-cari industri. jadilah lulusan lab itu menjadi semacam agen transfer teknologi dari akademis ke industri. Setelah saya selesai dari Sony, saya kembali ke Indonesia dan tetap dalam track industri, dan kebetulan Industri hi-tech (IC). Ternyata banyak hal yang saya hadapi dalam menjalani perusahaan di Indonesia, yang cukup diluar perhitungan saya.
Antara lain:
- Bahwa industri elektronik di indonesia sangat dangkal, yaitu industri kita adalah sangat hilir sekali dan jarang yang hulu.
- Supply chain yang mendukung perkembangan industri IC pada khususnya dan industri Elektronik pada umumnya sangat terbatas.
- Keahlian dan know-how pendukung, terutama untuk mass production, adalah sangat terbatas.
Hal-hal itu yang membuat effort untuk menjalani industri hi-tech di Indonesia memerlukan effor yang berlipat lebih besar dibandingkan menjalani industri sejenis di tempat yang struktur industrinya sudah matang, seperti Jepang.
Padahal untuk negara sebesar Indonesia maka industri elektronika yang kuat harus juga mempunyai basis industri elektronika yang kuat. Coba dicari negara maju didunia ini yang tidak mempunyai basis elektronika yang kuat …. tidak ada…. karena hampir semua peralatan infrastruktur modern akan mempunyai komponen elektronika didalamnya. Bahkan mobil modern pun 60% cost-nya adalah cost elektronika, dan dimasa mendatang dengan adanya EV maka sekitar 70% -85% cost akan pada harga komponen elektronika itu.
Jadi, menurut pendapat saya, ketertinggalan untuk membangun industri elektronika akan membuat competitive advantage indonesia akan sangat melemah dimasa mendatang. Kembali ke pokok diskusi, bahwa problem industri di Indonesia, dan tidak hanya elektronika, adalah struktur industri kita tidak deep/tidak dalam. Kita hanya berkutat di industri hilir maupun retail. Yang salah satu ciri industri hilir, biasanya nilai-tambahnya rendah.
Ini adalah tantangan bagi kita semua untuk meningkatkan deep-nya industri di Indonesia. Saya berikan contoh real bagaimana tidak deepnya teknologi di Indonesia, terutama dibidang elektronika.
Kami mendesain barang elektronika dengan kwalitas Jepang untuk ekspor. Desain kami biasanya memakai PCB multi layer dengan presisi yang tinggi. Dan di Indonesia sampai saat ini tidak ada industri yang bisa membuat multi layer PCB untuk fast prototyping dengan kualitas yang memenuhi standar kami.
Sehingga kami harus memesan ke LN. padahal di Jepang industri ini sudah ada semenjak 25 tahun lalu.!!! di China sudah sangat banyak…. Tapi know-how mengenai itu tidak ada di Ina. Dan ini sangat memalukan, bagi saya sendiri, yaitu bangsa ini pun tidak bisa/tidak mau/tidak memperhatikan teknologi yang sederhanya seperti membuat PCB dengan presisi tinggi itu. Jadi saya sangat menyarankan untuk para anggota MITI, ketika mendalami/memilih untuk mendalami suatu teknologi untuk:
- Selalu memikirkan dan membayangkan apa aplikasi di Industri/masyarakat teknologi yang
anda dalami itu. Dan juga memikirkan bagaimana step-step untuk mengaplikasikannya. Tidak selalu harus melakukan aplikasi segera, tapi minimal tahu step-stepnya dan tidak ada
missing link.
- Ambil penjurusan yang aplikatif.
Memang mendalami keilmuan untuk mengejar keilmuan itu sendiri sangat penting bagi kemanusiaan. Akan tetapi dengan keadaan Indonesia saat ini, yang penting adalah bagaimana bisa menciptakan kesejahteraan dan lapangan kerja. Jadi kita sebagai ilmuan harus bisa menjadi agen/pentrigger lapangan pekerjaan itu. Bayangkan bagaimana bahagianya kita, jika dengan 1 penemuan kita, maka akan tercipta 1000 lapangan kerja baru…. Atau dengan keahlian yang kita punya, maka kita bisa menghidupi 100 keluarga.
- Ambil jurusan yang disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia.
Terkadang di Ina, kita perlu teknologi khusus yang disesuaikan dengan keadaan demografi dan infrastruktur di Indonesia. Dan jangan berfikir bahwa teknologi di negara maju akan bisa segera diaplikasikan di Ina… Nah kita perlu openminded dan kreatif pada penerapan keahlian kita.
- Yang terakhir adalah, selalu berupaya untuk mencuri teknologi, jika ada kesempatan. Karena itulah jalan tersingkat untuk mendapatkan teknologi. Dan ingat kita bisa mencuri apabila ilmu kita sepadan dengan yang dicuri… jika tidak, maka kita pun tidak memahami apa yang kita curi.
Mengenai bidang apa-saja yang harus didalami, jawabannya adalah bidang-bidang yang kita punya, passion/rasa cinta terhadap bidang itu. Sehingga kita tidak bosan, apabila gagal. Jadi saya tidak perlu untuk mendiskusikannya disini.
Sehingga yang saya harapkan dari para pembaca disini, bahwa kita semua sebisa mungkin menjadi agen industri dimasa mendatang. Dan tidak perlu harus menjadi entrepreneur, tapi minimal menjadi pendukung dibelakang para entrepreneur untuk mewujudkan indudstri tersebut.
Sekian,
Riska Ayu Purnamasari:
Haik, terimakasih untuk penjelasan yang sangat menarik dan sangat bermanfaat pak untuk kita yang sedang memulai menyusun riset-riset dimasa depan nanti..kita masuk ke tanya jawab.
Pertanyaan 1:
Dari sdr. Ali Husain:
#tanya, sensei bisa d berikan contoh salah satu jurusan yang sesuai dengan kebutuhan INA, saya tertarik dengan nanotechnology, bagaimana pendapat sensei? Nanoteknologi adalah teknologi yang akan in-sya-Allah booming di masa mendatang (dan juga sekarang), Semikonduktor/IC sendiri adalah nano-teknologi.
Eko Fajar:
Nah yang terpenting dari nanoteknologi itu, yang saya perhatikan adalah, kemampuan untuk manufaktur produk-produk nano-teknologi tersebut dengan kwalitas yang konsisten. Dan juga industri mesin-mesin pendukung untuk manufaktur produk nano-teknologi tersebut. Sayangnya kedua know-how itu jarang bisa ditemukan di universitas, banyaknya terdapat di Industri.. Itulah saya pikir yang merupakan tantangan terkait nanoteknologi, yaitu jangan sampai kita hanya menjadi pengguna/manufaktur hilir dari nanoteknologi dimasa mendatang, seperti nasib industri elektronika Indonesia saat ini.
Nah mengenai jurusannya bisa diteliti mengenai nanoteknologi pada aplikasi, misalkan katalis, baterai dan food industry dll. karena saya pikir itu adalah salah satu fokus industri di Indonesia saat ini, yaitu diantaranya pangan dan energy.
Ali Husain:
#Tanggapan
Terkait kurang support dari university, apakah kami harus sembari menimba ilmu, terjun d dunia industri, untuk memahami itu?
Eko Fajar:
Idealnya adalah bisa terjun ke Industri terkait, tapi biasanya si Industri akan sangat tertutup.
Jika menemui ketertutupan industri itu, maka yang perlu kita lakukan adalah, selain membaca journal, kita perlu membaca pula majalah-majalah pada industri terkait itu. Dan juga cara yang bisa kita tempuh adalah, hadir di trade-show yang terkait industri yang kita geluti… Jadi bukan hanya hadir di konfrensi ilmiah. Dengan cara itu, wawasan kita tentang aplikasi di industri/masyarakat akan terbuka.
Sekian.
Pertanyaan kedua dari sdr. Reza Dwi Utomo
Pembahasan yang luar biasa dari Dr. Eko Fajar sangat membuka wawasan. Pertanyaan pertama: saya sangat setuju sekali industri semiconductor yang kuat dapat menopang industri hitech lainnya. Jika kita melirik kepada poros development semiconductor, saat ini korsel menjadi salah satu pusat pertumbuhan semiconductor. dan salah satu masterpiece mereka di bidang semiconductor adalah smartphone dan gadget. Padahal jika kita melihat satu dekade ke belakang, produk ponsel korsel tidak ada apa-apanya. Masih jauh dari produk jepang. semiconductor mengakselerasi riset dan industri hitech di korsel. Oleh karena itu, dengan Doktor Eko Fajar yang sekarang fokus mengembangkan industri semiconductor di Indonesia, akankah ke depan kita (red: Indonesia) mampu menjadi the next leading “Silicon Valley”?
Pertanyaan kedua: saat berbicara hitech, apalagi bidang elektro dan kekomputeran, kita bisa dengan lebih mudah menentukan topik untuk riset saat di luar negeri. Kemudian saat di dalam negeri, topik riset yang terpikir oleh saya terkadang seperti topik yang ‘anak SMK banget’ karena memang environmentnya tidak semendukung di LN. Nah, menurut Doktor Eko Fajar, bagaimana untuk mengatasi hal tersebut? Bisa meriset aplikasi-aplikasi yang hitech tapi juga bisa grass root.
Eko Fajar:
Baik, sdr Reza…. mengenai semiconductor, ada fakta menarik yang perlu kita ingat . Bahwa pusat manufaktur elektronik di dunia itu ada di Asia Timur (mungkin kapasitas sekitar 80% dari kapasitas dunia). Lalu pusat industri semikonduktor dunia itu pun ada di Asia Timur. Mungkin sekitar 80-90% dari kapasitas dunia. Yang dimaksud Asia timur ini adalah Korea Selatan, Jepang, Taiwan, China, Singapore, Thailand dan Malaysia…..
Lho, mana Indonesia…. memang Indonesia belum masuk radar industri semikonduktor dunia karena kita sangat sedikit industrinya. Jadi sebenarnya Indonesia punya kesempatan untuk masuk klub negara-negara produsen semikonduktor/elektronik jika infrastruktur industrinya siap (termasuk peraturan dan infrastruktur lainya).
Tapi saya tidak pernah bermimpi Indonesia menjadi next silicon valley, karena semikonduktor bukan merupakan industri yang paling menarik pada konteks Indonesia, masih ada industri lain, dan dalam hal ini saya realistis… Industri menarik lainya misalkan, energi, pangan, dll. Akan tetapi tetap semikonduktor dan elektronik pada umumnya adalah industri pendukung untuk berkembangnya industri-industri unggulan itu… Jadi tetap penting, tapi sulit untuk menjadi yang sangat penting dan menarik.
Pertanyaan terkait aplikasi hi-tech dan tetap grass-root, itu masih banyak… yang membatasi adalah kreatifitas kita. Sebagai contoh, saya sekarang mendesain charge-controller untuk baterai Lithium, kami sekarang mendesain IC-nya…. dan itu insya-allah akan dipakai misalkan di baterai HP dlll. Itu contoh hi-tech dan grass-root. Dan saya pikir masih banyak contoh lain.
Reza Dwi Utomo:
#tanggapan
Memang benar, semiconductor sekarang memiliki tren berpusa timur di asia. Kelihatan sekali, terutama di IEEE, banyak researcher dari asia timur. Dan sekali lagi, regulasi pemerintah kurang memberi stimulasi ke riset anak bangsa. Lalu, terkait membuat indonesia menjadi pusat semiconductor, bukankah itu sangat menjanjikan, Pak? mengingat pasokan silikon di indonesia itu tinggi.
Eko Fajar:
Ya, pasokan silikon sangat tinggi. Tapi di dunia ini hanya ada 2-3 perusahaan saja yang bisa memurnikan silicon itu menjadi kemurnian 99,9999%.. Dan industri itu ada di Jepang dan USA.. dan saya tidak yakin kita bisa melakukannya dalam 10-15 tahun kedepan.
Jadi tantangannya masih banyak, belum lagi tantangan SDM…. Jadi bukannya tidak mungkin, akan tetapi sulit sekali. Karena perkembangan salah satu industri spesifik, merupakan balance dari perkembangan industri-industri lain.
Reza Dwi Utomo:
Jadi terbuka pemikiran.. Sebenarnya dulu pernah saya punya mimpi untuk menjadikan indonesia seperti silicon valley. Tapi setelah mendapat gambaran seperti itu, saya menjadi lebih punya tantangan.
Pertanyaan ketiga dari sdri. Dede Rohayat:
Nanoteknologi apa memungkinkan untuk diterapkan pada pakan ikan sensei?
Eko Fajar:
Saya bukan ahli pakan sebenarnya, jadi mohon maaf jika saya tidak bisa menjawab dengan baik sdri. Dede. Kemungkinan aplikasi nano teknologi masih sangat luas (dan juga kemungkinan efek negatifnya), sebagai contoh di Jepang. Di Jepang ada aplikasi nano teknologi untuk mengawetkan produk perikanan. Dan saya sekarang sedang berusaha untuk transfer (baca mencuri) teknologi itu. Nah jadi, saya percaya bahwa akan ada aplikasi nanoteknologi pada pakan ikan sehingga bisa menaikkan yield produksi ikan tersebut…. Bagaimana caranya… itu tuga sdri. Dede.
Pertanyaan ke 4 dari sdri Devy Pramudyah:
Assalamu’alaykum Pak Eko, perkenalkan saya Devy dari Jurusan Fisika UGM, Jogja.
Terimakasih Pak. Menarik sekali materi dari Pak Eko. Terutama karena saya memang sedang galau dalam melanjuntukan S3 mau ambil tema yang lebih ke hulu atau ke hilir untuk mengejar ilmu aplikatifnya. Di Ina, mengejar fokus keilmuan di bidang hulu memang bisa dikatakan lebih aman daripada hilir karena memang seperti yang Bpk katakan, fasilitas di Ina ini serba belum siap. Sementara ketika studi saya fokus di ilmu hulu, saya takut kekurangan kompetensi dalam hal aplikasinya nanti. Entah itu di level universitas maupun industri.
Pertanyaan saya:
- Menurut Bpk, bagaimana solusi atas kegalauan saya tersebut? Hehe
- Apa kiat-kiat Pak Eko dalam menghadapi berbagai ketidaksiapan di negeri ini ketika pertama kali mendirikan vsilicon?
- Bpk tadi mengatakan untuk mencuri teknologi. Nah apakah cukup hanya dengan menyelesaikan studi di LN sampai jenjang doktor untuk melakukan ini? Mengingat berbagai step untuk mewujudkan aplikasi dari ilmu kita akan lebih matang ketika kita pernah bekerja di industri yang sudah mapan atau paling tidak bekerja di alur untuk mengaplikasikan ilmu dan teknologi yang kita pelajari diaplikasikan dalam skala industri.
Eko Fajar:
Sdri Devy, untuk riset S3, saya pikir sebaiknya lebih ke hulu. Karena kita akan mendapat filosofi ilmunya lebih banyak di Hulu. Dan saya sendiri juga di Hulu ketika riset s1 s/d S3… Hanya mungkin saya beruntung adalah aplikasi dari riset saya itu bisa segera diterapkan di Industri…. nah terkait kegalauan Sdri Devy, lebih baik tetap riset di hulu, dan perbanyak teman untuk diskusi terkait aplikasi hilirnya.
Lalu untuk pertanyaan no. 2, memang itu masa-masa yang sulit untuk berkembang (bahkan sampai saat ini juga… karena kami minoritas), nah kita-kiat yang saya lakukan adalah:
- Kami fokus pada customer luar dan network diluar untuk melengkapi kekurangan di Indonesia
- Kami melakukan akusisi teknologi lebih ke hilir, jika teknologi itu belum ada di Ina. (bahasa industrinya forward integration).
Nah itulah yang menyebabkan kami masuk ke industri desain dan manufaktur elektronika, dengan salah satu tujuan agar produk semikonduktor kami ada penggunanya di dalam negeri.
Untuk track industri (bukan track akademis), maka tidak cukup hanya menyelesaikan S3 di LN. karena know-how manufaktur itu di Industri bukan di akademis/universitas. Jadi disarankan agar masuk ke industri terkait. Tapi jangan keenakan di Industri LN itu sehingga lupa pulang…. Dan jangan pula lupa bahwa misi utama adalah mencuri know-how.
Pertanyaan ke 4 dari sdri. Yessy esti:
Sensei perihal temukan passion agar saat gagal kita tidak bosan/lelah. Bagaimanakah? Apa kiat khusus dari sensei saat menemui kendala agar tidak bosan dan lelah (terutama kiat ibadah atau sesuatu yang membuat mood kita baik kembali ) ?
Yang kedua, Sensei, Apakah perlu Generasi Indonesia diajarkan untuk melek teknologi sejak Dini(SD, SMP, SMA) lalu referensi seperti apa yang bisa di aplikatifkan seorang pendidik? #maaf oot# sensei
Eko Fajar:
Baik, sdri Yessy, kita pasti akan mengalami lelah, dan motivasi turun… itu biasa… Tapi yang jadi masalah adalah jika lelah dan turun motivasi itu menjadi kebiasaan. Itu kuncinya sebenarnya, jangan menjadikan kita terbiasa/ menikmati lelah dan motivasi turun..
Kiat-kiat yang saya selalu lakukan jika lelah adalah:
- Sejenak kita tinggalkan hal-hal yang melelahkan itu, misalkan jika kita lelah berfikir maka berhenti dan jalan-jalan saja di lapangan bebas (jangan di mall, kalau saya tambah lelah). Dan kalau perlu jogging. Dan in-sya-Allah dalam beberapa waktu kita akan refreshing, dan mendapat inspirasi baru.
- Buat agar kegiatan kita variatif…. jangan melulu hal yang sama…. Seperti jika membaca pun, kita baca banyak macam buku, buku keahlian kita, ekonomi, filosofi, sejarah dlll. Sehingga kita tidak bosan dengan hal-hal yang sama.
- Kelilingin lingkungan kita dengan orang-orang yang tidak cepat lelah dan bermotivasi tinggi. Jangan kelilingi kita dengan orang-orang yang lemah motivasi. Kalau di MITI banyak orang-orang/tokoh seperti itu.
- Yang terakhir, bahwa pastikan tujuan kita melakukan sesuatu bukan hanya untuk pribadi dan bukan untuk hal-hal yang fana (seperti untuk dapat harta, dapat tenar dll), tapi jadikan tujuan kita adalah untuk hal-hal eternal, seperti untuk kontribusi ke masyarakat, untuk memajukan keilmuan dll.
Untuk pertanyaan kedua, saya sebenarnya dari kecil (kelas 3 SD) sudah terekspos ke teknologi terutama elektronika, tapi sebenarnya itu karena saya suka… bereksperimen. Jadi dari kecil jika seorang anak suka ke teknologi, maka perlu disalurkan. Tapi yang sering salah pengertian adalah, ekspose ke teknologi itu diartikan sebagai pengguna teknologi, seperti pengguna komputer, pengguna HP, pengguna tablet dlll. Bukan ini menurut saya. Yang harus diekspose adalah “bagaimana jalannya teknologi tu” bukan “bagaimana menggunakan teknologi” karena itu dua hal berbeda. Sehingga bagi saya jawabannya untu SD yang lebih penting adalah memberikan/memotivasi sesuatu ke si anak didik agar tertarik terhadap cara kerja/analisa sesuatu baik teknologi, seni, sains dll. Untuk SMP dan SMA memang perlu ekspose teknologi yang lebih mendalam sebagai pemakai maupun sebagai pembuat.
Yessy Esti Wijayanti:
Sensei terima kasih banyak atas motivasinya. Oh ya sensei, terkadang masalah psikologi menjadi terabaikan karena tidsk terlihat oleh kasat mata. Sensei, Apa perlu sejak dini kita kenalkan sains of technology secara teori maupun mnggunakan alat peraga?
Eko Fajar:
Ya, masalah psikologi penting…. dan saya pikir sangat perlu diperhatikan. Terkait mengenai alat peraga dll saya pikir Sains and teknologi sangat penting untuk diperkenalkan semenjak dini. Sehingga si anak punya ketertarikan dibidang itu. Karena banyak juga anak benci terhadap suatu bidang ilmu, karena gurunya tidak benar ketika memperkenalkan bidang ilmu tersebut.
Pertanyaan ke 5 dari sdr. Rahmat Rizeki:
Sebelumnya senang bisa berdiskusi dengan Dr.Eko Fajar, hajimemashite watashi wa Rahmat Rizeki :), Electrical Engineering Undip desu.
Keren sekali pembahasan Dr. Eko Fajar. All about IT, Hi-Tech and Embeded system. Salah satu indikator paling mudah untuk menentukan sebuah negara maju yakni, kemajuan IT nya, baik dari segi pemakaian aplikatif sehari-hari hingga research incubator dan innovasi. Begitu pula keterbutuhan hulu-hilir, know-how untuk pengembangan itu. Nah terkait hal-hal itu semua, jikalau di prosentasekan, menurut Dr, sudah seberapa siap negara kita?
Tidak bisa dipungkiri, banyak rekan2 kita yang telah menempuh pendidikan tinggi di luar, dan tentunya dengan focus study yang lebih spesifik “agak enggan” untuk pulang ke ina, dengan alasan tidak dihargai, maupun tidak ada peralatan yang mendukung.
Ambil saja contoh, Dr. Warsito, dan yang baru2 ini adalah si “putera petir”. Orang awam pun dengan mudah mengambil pikiran bahwa pemerintah kurang menghargai SDM-SDM kita yang punya innovasi tinggi, Bagaimana Dr, menanggapi hal demikian.?
Terakhir,
Menurut Dr, SDM dahulu apa Incubatornya dahulu kalo kita ingin mengembangkan IT, Embeded system, di Negeri Kita?
Arigatou Gozaimasu 🙂
Eko Fajar:
Ok sdr Rahmat, yang saya ketahui bahwa orang Indonesia itu adalah bangsa yang siap menyerap hal-hal baru dengan mudah (bahasa positif adalah : cepat adaptasi, bahasa negatifnya adalah latah). Jadi sebenarnya bangsa kita siap menyerap produk-produk baru.
Tapi yang jadi masalah adalah:
- Bangsa kita belum tahu yang namanya kualitas baik itu apa, sebagian besar yang penting murah (apalagi gratis) maka OK. Ini yang menjadi masalah ketika introduksi suatu produk teknologi dengan kualitas tinggi.
- Kesiapan industri kita untuk menyuplai kebutuhan lokal juga sangat terbatas. Kalau ditanya prosentase nya akan sulit. Tapi yang bisa saya utarakan adalah, bahwa jika kita punya produk yang tepat untuk pasar lokal, maka bangsa kita akan menyerap dengan sangat baik.
Pertanyaan kedua adalah, benar bahwa keberpihakan pemerintah secara menyeluruh belum ada. Yang maksud saya menyeluruh adalah dari mulai Presiden, DPR sampai P2K-nya. Yang saya lihat keberpihakan adalah hanya pada retorika Presiden, DPR s/d eselon 1 saja. Tapi belum kebawah. Tapi itulah Indonesia yang kita harus hadapi. Tapi diantara carut marut itu, saya juga bisa menjual produk ke bangsa sendiri selama *kita mau berbagi*, dalam hal kita harus mau bekerjasama dengan banyak orang.
Keahlian kami memang di Embedded System juga.. dan kami sekarang sedang ada kontrak dengan perusahaan jepang untuk IoT. Nah kalau ditanya mana inkubasinya…. masih sangat sedikit… Bahkan konfrensi untuk embedded system juga belum ada. Mungkin MITI perlu membuat ya… konfrensi atau semacam work group untuk embedded system.
Rahmat Rizeki UNDIP:
Kalau dari saya.. ini pak:
- Quantum control
- Nanorobotic until drug delivery
- Multi-agents control
- Fault diagnostic and tolerant control
Guru atau institusi yang rekomended buat belajar hal-hal itu ke mana ya Dr :)?
Eko Fajar:
Untuk bisa mendalami 4 bidang itu, sepertinya harus ke 4 institusi yang berbeda… Karena 4 bidang itu sangat disjoint.
Riska Ayu Purnamasari:
Saya yakin masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, tapi waktu yang terbatas, insyaAllah masing-masing bisa menghubungi pak eko via email bisa di: eko@vs.co.id.
Atau via linkedin beliau..
Terimakasih banyak pak atas ilmu dan waktunya. Saya tutup yaa.. Wassalamualaykum wr wb. Sampai jumpa di diskusi berikutnya
Eko Fajar:
Tetap semangat.
wassalamu’alaikum wr.wb.