Puisi

Bismillahirrahmanirrahim..

Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Ada yang familiar dengan puisi diatas?
Heheh iya.. berhubung ini Juni dan notice ada puisi tersebut. Saya mau ngulsap tentang puisi.
Ini ga review puisi diatas, ga juga dijadiin senggol menyenggol jomblo di bulan juni (Syawal).

Sering liat di rubah diksinya; jadi “Tak ada yang lebih tabah dari jomblo di bulan Juni”

Yang ngerti, diem diem aja ya wkwkwkk.

Kebetulan saya bergabung menjadi salah satu redaktur cagar puisi, ada sedikit pengetahuan saya terkait puisi yang ingin saya share.

Sebelum kita masuk kepada apa itu puisi secara lebih luas, kita akan bicara media puisi.

Puisi itu biasanya ditulis diatas kertas, trus selain itu biasanya dia panjang dan berbait bait dsb. Nah itu pengertian puisi dilihat dari media puisi sekitar 30-100 th yang lalu.

Sekarang zaman berubah. Dulu 100 tahun yang lalu puisi itu bebas sepanjang-panjangnya dan berbentuk naskah.

Trus sekitar 80 tahun yang lalu muncul era koran. Puisi-puisi itu akhirnya singkat, dirampingkan menurut selera atau menurut space yang ada di koran.

Apalagi terpengaruh dengan sastra dari Eropa.Truss tema, bahasa, kita tahu banyak yang mendayu dayu, kalau kata Chairil Anwar di tahun 40an itu ada 7 kata yang sering di ulang-ulang “bulan, puisi, matahari, senja, malam dsb. Termasuk hujan”

Ini membuktikan, puisi masih cukup berbait-bait dan panjang.

Nah sekarang ditahun 2000-an kesini ada 1 gendre puisi, namanya “Puisi/sastra Cyber/Saiber”.

Sastra cyber itu medianya sudah menggunakan internet. Dulu di awal 2000an menggunakan fb, twitter, web.

Nah kalau sekarang kita punya Instagram. Igberubah menjadi media tulis menulis, bukan lagi media meng-uploud foto.

Makanya ga jarang kita nemu puisi disana.

Nah dari sini, di satu sisi perkembangan sastra Indonesia mulai dan selalu mengabaikan perkembangan puisi salah satunya puisi Islam (nanti kita bahas apa itu puisi islam).

Seolah-olah perkembangan puisi-puisi islam itu kalah dengan perkembangan cerpen dsb.

Dan kalau ngomongin puisi Islam, memang rata-rata jatohnya kemanunggaling gusti kawulo atau sufi sih. Ya ini bukan masalah sesat atau enggaknya. Tapi puisi-puisi itu jadinya ga bisa dinikmati sama masyarakat awam. Dan harus kita akui kualitas sastra/puisi kita memang masih rendah. Huhu.

Dari situ yok kita defenisikan.

Apa sih Sastra/Puisi Islam itu?
Sastra Islam itu bukan sastra yang kebanyakan takbir, istighfar, kebanyakan bahasa arabnya. Tapi Sastra Islam betul-betul merujuk pada makna; pada satu gagasan. Puisi Islam itu adalah puisi yang bisa menegaskan hakikat kehidupan, hakikat keadilan dan hakikat ketuhanan secara Islam.

Bukan cuma perkara disana menggunakan bahasa arab, ya itu sih suatu yang alamiyah ya.

Tapi bukan berarti puisi islam itu yang kebanyakan istighfar, banyak doa doa dll. Nah yang begitu di anggap gendrenya harem.

Ni beberapa penyair Islam:

Taufik Ismail; puisinya cukup terkenal yah

Jama, D Rahman; puisinya itu sufi banget

Gus Mus dll.

Puisi itu pada dasarnya berbeda dari pengertian modern dengan pengertian zaman dulu.
Tapi puisi itu adalah : Segala sesuatu yang ditulis menggunakan bahasa manusia, bahasa yang tentu saja bisa kita mengerti. Dari situ, kita mengkristalisasi perasaan kita, ide kita tentang kehidupan; keadilan; dsb lalu kita masukkan kedalamnya.

Puisi juga mengandung syarat. Kalau ga mengandung syarat tidak bisa dikatakan puisi.

Syarat-syarat ini sangat subjektif; diantaranya yang paling penting adalah: Indah dan menggunakan bahasa

Dalam puisi ada 2 mazhab:

1. Puisi strukturalis
2. Puisi konkret

Mazhab strukturalis menggunakan alat puisi berupa bahasa

Mazhab konkret menggunakan alat puisi yaitu bunyi. Bedanya apa?

Kalau puisi sebagai bahasa dia mengggunakan bahasa manusia yang kita kenal. Artinya kita nulis aku, dia, kita dsb.

O iya jangan terlena dengan kata kata “oh.. puisi itu kan emang harus ga jelas, abstrak gitu”.

Justru puisi itu harus bisa menyederhanakan konsep-konsep rumit atau menjelaskan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan bahasa-bahasa yang mudah.

Yok yang mau coba. Bisa banget buat puisi ditengah suasana pandemi dan kebijakan pemerintah hehe.

Puisi itu bisa dibilang indah; karena puisi itu padat sekali, mudah dan maknanya itu kuat.

Nah kepadatan makna ini lah yang hanya dimiliki puisi. Ga dimiliki oleh berita, jurnal, novel bahkan cerpen sekalipun.
Gimana mau buat puisi? Pernah buat puisi. Tapi puisi kita jelek.

Gapapa.

Kita bisa belajar. Caranya kita harus menaikkan selera melalui jumlah kata yang kita punya. Karena seringkali kita ga punya kata yang dimiliki oleh orang lain, dari situ kita sulit puisi bahkan kita ga akan bisa ngerti puisi orang lain.

Misal:
Orang bilang
“Senyumnya tersunggging”

Kita ga ngerti

Padahal kita harus tau, dalam bahasa jawa, Sungging itu artinya terpahat; tercodet. Artinya senyum itu terpahat dengan indah.

Atau kalau mau bilang warna pink agak merah atau agak oren, bahasa indonesianya itu dewangga.

Biru terang/biru telor asin itu kata lainnya indra nila.

Kita ga pernah dengar kata itu karna kita jarang gunainnya. Seorang pembuat puisi perlu tools: yaitu tata bahasa baku, pedoman ejaan umum, KBBI, kamus daerah.

Eits.. tapi puisi itu bukan fiksi ya.

Sebab fiksi itu (imagine): mengaktifkan fungsi “seandainya” atau perandaian dalam logika manusia.

Kek aljabar itu juga fiksi. Angka X dan variable nha adalah fiksi.

Kenapa? Soalnya X itu memisalkan angka. Angka seandainya. Angka ghaib.

misal “Jika X-1 adalah n maka betapa n-1” dsb.

Ya kan?

Tapi puisi bukan fiksi. Dia benar-benar nyata. Puisi itu pesan atau kesan kita.

Orang abis makan dia ngomong ‘kenyang’ tapi dia ga ngomong lagi abis makan. Cuma dia nulisin kata kenyang.

Nah itu fiksi ga? Dia berandai ga? Engga kan? Ngga karena dia hanya cerita meski hanya lewat 1 kata.

Simple.

https://www.google.com/amp/s/matapuisi.com/2018/03/23/nikmat-prosa-nikmat-puisi/amp/

Alami, Lupakan,… Lalu Puisikan

Puisi, Pengalaman, dan Kesadaran

Puisi tu persis kayak Virus. Ada semacam herd immunity. Munculnya dari interaksi dengan virus. Memahami puisi juga gitu. Selera akan naik seiring herd immunity yang muncul di satu tempat.

Di artikel terakhir intinya
mau bilang sebuah puisi berawal dari pengalaman; atas dasar kesadaran

Nah. Tapi, harus ada jarak antara kesedihan, kebahagiaan, atau kemarahan yang kita alami, dengan puisi yang kita buat.

Contohnya gini.

Ente marah karena islam dihina. Otomatis berpuisi. Itu, ternyata bukan puisi. Itu amarah, racauan yang kebetulan indah. Tapipuisi itu kesimpulan dari semua kemarahanmu. Kesimpulan dari apa yang mau kita bicarakan.

Kenapa ga boleh bikin puisi dengan spontan?
Karena saat ente misalnya patah hati, lalu langsung bikin puisi, itu akan kedengeran kayak umpatan semata.

Tapi beda kalau puisi itu benar-benar perenungan yang kuat dari patah hati itu.

Lahirlah puisi:

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”

Yang terakhir potongan puisi Eyang Sapardi juga.

Ada beberapa puisi Islam disini yang menurut saya power banget. Silakan dinikmati nanti.

Nori handayani

About Admin

Check Also

Sejarah Kopi

COFFEE AND HISTORY Sejarah kopi tentang dari mana dan siapa penemunya memang tidak diketahui pasti. ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *