Hari itu bukan yang pertama kalinya saya dan beberapa teman dibuat kerepotan dengan ulah si fulan. Satu kali fulan menjanjikan hadir dalam suatu agenda namun dibatalkan. Lain waktu fulan memberikan petunjuk arah yang tidak jelas sehingga kami harus berputar-putar sebelum menacapai tujuan. Lalu ada pula saat fulan membuat orang yang mencarinya kelelahan berkeliling kampus karena keterangannya berubah-ubah dan tidak selalu bisa dihubungi.
Suatu kali, dalam suatu candaan, kami menyebut diri kami lebih bodoh daripada keledai. Konon keledai tidak akan jatuh dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Namun kami tidak juga jera walau sudah berulangkali dibuat repot oleh fulan.
Kenapa kami, manusia, bisa lebih ‘bodoh’ daripada keledai? Mungkin justru karena manusia punya akal dan hati.
Yang dihadapi keledai adalah lubang, benda mati. Dan kalaupun menghadapi makhluk hidup, keledai tidak punya banyak pertimbangan dengan apa yang dilakulannya.
Kami, teman-teman satu tim fulan, dan fulan adalah manusia. Peran fulan biar bagaimana pun dibutuhkan dalam tim. Maka kami tetap memberinya kesempatan lagi dan lagi. Karena manusia memiliki apa yang disebut harapan dan prasangka baik : dalam setiap kesempatan tambahan yang diberikan, akan ada perbaikan.
Bukannya marah, kami justru bisa menertawakan diri sendiri saat menyadari ‘kebodohan’ kami. Perkara yang melibatkan kami dan fulan tergolong sepele. Jika manusia bisa ‘lebih bodoh dari keledai’ dalam hal lain yang lebih besar, mungkin dunia ini tidak akan seribut sekarang.
Malang, 5 Maret 2015, menjelang Maghrib.
Hidayah Sunar Perdanastuti (Nana)