Home / Pengetahuan Umum / Mencari Hikmah dan Menemukan Kebijaksanaan pada Poin SDGs

Mencari Hikmah dan Menemukan Kebijaksanaan pada Poin SDGs

Mencari Hikmah dan Menemukan Kebijaksanaan pada Poin SDGs

Azzam Mohammad Hafidz
Jadi, baru saja kemarin saya mengikuti event Seminar Nasional. Ada yang tahu tidak, Apa itu Seminar Nasional? Pasti pada tahu, ya. Sesi kali ini di inisiasi oleh SDGs Center Unpad dan SMERU Research Institute.

Mumpung masih hangat, sepertinya akan cocok untuk jadi input yang sangat baik jika saja sejak awal hasil seminar dari hasil penelitian para peneliti ini dibuat sharing-sharing kecil di luar gedung, biar ada triger diskusi berkembang dan produktif lainnya.

Tema besarnya membahas Arah Pembangunan SDM pada periode kedua Jokowi. Terdapat dua sub pembahasan inti yang menurut saya sangat menarik bagi para aktivis pendidikan: NGO dan Community Development, bahkan para Aktivis Pendidikan Islam. Mengapa? Menurut saya, dari hasil penelitian tersebut banyak evidence yang di hadirkan dengan objektif dan itu sangat relevan dengan akselerasi pembangunan SDM versi islam yang rahmatan lil ‘alamin. Namun, tak ada satu pun dari hasil penelitian tersebut yang dikait-kaitkan dengan istilah – istilah Islam maupun istilah Pendidikan Islam itu sendiri. Jadi, bagi saya ini adalah peluang.

Di awal saya singgung ini, karena saya sendiri seorang muslim yang mencoba concern untuk bisa tafaqquh fi-diin. Sebisa mungkin saya harus kumpulkan hikmah-hikmah yang hilang dari Islam hari ini. Kedua, penganut agama Islam, di Indonesia itu sendiri menjadi major population yang akan menentukan keberhasilan negara ini. Akumulasi kesuksesan individunya adalah kesuksesan negara. Barangkali sampai hari ini Negara Indonesia masih gini – gini aja, karena major populiti-nya, ya, gini gini aja juga. Satu lagi, dari pemaparan yang di sampaikan pada seminar: banyak hal yang sejalan dengan prinsip pendidikan dan pengembangan manusia menurut perspektif islam. Istilah kerennya tarbiyah islamiyah. Barang tentu tentu prinsip itu nantinya akan menentukan pembelajaran dan hasil kualitas fisik, ruh (baca: mental) dan isi otak dari para pembelajar dan tentu hal baik seperti ini harus bisa secara riil di implementasikan.

Sehingga harusnya ini menjadi informasi penting bagi para aktivis Islam. Penting karena aktivis Islam berati senantiasa mempebaharui kapasitas ilmunya tidak jumud, penting karena aktivis Islam punya dukungan penelitian yang sejalan dengan Islam, penting karena ternyata di tengah kemajemukan ini, Islam bisa hadir memberikan banyak solusi, meskipun pembuktian itu baru muncul di akhir – akhir. Nanti bisa kita lanjutkan diskusi. Itu pendapat pribadi saya saja. Silakan kalau tertarik dengan hipotesis saya, bisa di kembangkan penelitiannya lebih lanjut dan silahkan di buat pembuktiannya.

Lanjut, sub pembahasan pertama tentang Perkembangan Pembangunan SDM di Indonesia saat ini. yang kedua tentang Hak Dasar atau Pelayanan Dasar yang seharusnya di dapatkan oleh SDM agar ia mencapai titik berdaya dan produktifnya–yang dipaparkan oleh 7 Pembicara–.

Lebih menarik lagi, paparan dan penjelasan yang disampaikan cukup komprehensif dan mendalam tentang dampak dari pembangunan SDM terhadap indikator yang semuanya merupakan ukuran atau indikator sosio-ekonomi. Sederhananya kita bisa bilang, apa sih efeknya SDM buat sosial dan ekonomi? kok dibahas terhadap sosio-ekonomi? kok ngga dibahas terhadap teknologi gitu, apa yang lain, dan sebagainya.

Lagi-lagi, hemat saya, hidup manusia itu sendiri secara fitrah atau ‘nature’ nya sangat tidak bisa lepas dari aspek sosio-ekonomi, dia akan banyak dipengaruhi oleh dua hal tersebut, atau suatu saat dia akan bisa mempengaruhi khalayak dengan dua aspek tersebut juga. makannya dua aspek itu yang mungkin akan punya porsi lebih dalam kehidupan manusia secara keduniawi-an. Termasuk dalam Al-Qu’ran juga dua aspek ini yang diatur secara jelas batasannya, arahnya, dan contohnya agar bisa relevan dengan Ridho Allah. Kita kenal istilahnya menjadi bernilai ibadah.

Pada ‘perspektif konvensi istilah global’, karena aspek sosial-ekonomi itu memiliki proporsi yang relatif besar pada ukuran pertumbuhan sebuah Negara. Akhirnya ukuran dua hal ini yang sering dijadikan acuan untuk menentukan sebuah negara berkembang, maju atau tidak (masih ada inidikator lainnya juga, tergantung kebutuhan).

So, gimana isi seminarnya?
Karena ini tulisan saya, jadi opini saya juga masuk di dalamnya. Tapi, kalau mau tahu versi lengkap, panjang, dan menjenuhkan langsung dari aslinya, bisa akses di sini, pilih dashboard “depan” dan cari Seminar Nasional dengan keyword familiar JOKOWI, data kurva dan sebagainya lengkap, bisa dikembangkan lagi, hhe.

Hari ini dan kedepan
Keynote speech dari Prof. AAY (kebetulan dosen saya dulu). Banyak menyampaikan tentang status dan tatangan pembangunan SDM Indonesia hari ini. Bahkan beliau lengkapi dengan data dan fakta sejak beberapa waktu kebelakang secara agregatif dan mudah dipahami.

Status yang beliau sampaikan tentang SDM Indonesia adalah bahwa SDM Indonesia jika dirata – ratakan secara umum itu Under-Achiever. Itu status SDM nya.

Yang jadi tantangan buat SDM itu sendiri adalah kebijakan dan kebijaksanaan yang mengatur Negara, mau diapain nih SDMnya. (Yang kata – kata ini tafsiran saya, kenapa kebijakan dan kebijaksanaan, karena kalo itu sudah benar, maka barulah kita siap membahas tatangan yang muncul dari dunia global. bukan berarti juga ketika bahas kebijakan, ini tak memperitmbangkan global sama sekali, bukan. ini lebih kepada hal prioritas yang harus disegerakan)

Kedua fakta tersebut sejujurnya sangat tidak enak di dengar dan tidak enak dilihat, tapi begitu kok faktanya, dan dari sana harusnya kita lebih banyak belajar supaya bisa lebih mengakselarasi tapi juga tetap rendah hati dan tidak sombong serta rajin menabung (ngga bercanda!).

Tentang SDM Under-Achiever, ini merupakan kondisi dimana dari segi kualitas dan kuantitas perbandingan dengan tetangga dekat maupun jauh. Negara Indonesia masih berada pada posisi terbawah rangking perbandingan kualitas SDM-nya. Apa saja data pembandingnya? wait. Padahal harusnya, lagi – lagi bicara muslim majority, minimal masuk 3 besar gitu dari atas, bukan di bawah-bawah mulu (apa gara2 makan nasi ya, semakin berisi semakin merunduk -canda, hhe)

Perbandingan pertama dilihat secara data scientific publication per capita. sederhananya berapa banyak karya ilmiah yang publish jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan pendapatan yang di dapatnya. Beliau hanya menunjukan kurva dan saya fikir semua orang sudah banyak tau tentang hal ini, kalo tingkat publikasi ilmiah negara kita rendah (jangan pesimis dulu, karena banyak orang Indonesia di luar sana yang publish jurnal ilmiahnya bagus juga, sayangnya publish di negara orang hhe) cek aja di goole’ berapa rank kita (…)

Kemudian, beliau perlihatkan perbandingan dari segi PISA Score, dimana PISA Score merupakan penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga-tahunan, untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun. kegiatan ini diselenggarakan dan dilaksanakan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan (OECD) yang dalam percapita negara Indonesia dengan jumlah penduduk dan pendapatan relatif besar jumlahnya, ternyata masih juga berada pada rank terbawah. Begitu realitasnya hari ini. cek di goole’ ya (…)

Selanjutnya, dilihat dari data tingkat entrepreneurship (business density) atau tingkat kepadatan atau intensitas daya dorong masyarakat untuk memproduksi sebuah platform dengan output yang mampu menyerap angkatan kerja, selanjutnya berefek pada pertumbuhan atau kesejahteraan ekonomi yang semakin meningkat dan berkualitas, ternyata rendah juga. cek di goole’ (…)

Pertumbuhan ekonomi itu bukan tujuan akhir
Data yang diperlihatkan hanya 3 itu saja, memang mungkin diluar sana masih banyak data yang lain, tapi dari tiga itu juga sebenarnya sangat cukup. Sementara masih tergantung kebutuhan. Yang menjadi pertanyaan, (perasaan) data itu sudah ada dari satu atau dua dekade yang lalu.. tapi kok sampai sekarang masih gini – gini aja? Apakah memang negara kita tidak belajar? Arti lainnya akumulasi individu negara ini tidak berkembang? Atau bagaimana?

Kalo mengacu pada 3 hal tersebut mungkin memang begitu, negara kita masih tertinggal, tapi pada sisi yang lain barangkali relatif sudah maju, entah coba cek apa yg maju hhe..

Kecurigaan saya tentang sebab stagnannya perkembangan SDM di indonesia ini, ternyata dijawab oleh beliau dengan bahasa yang mudah dipahami dan sederhana. Bahwasannya, (mungkin) pemerintah negara Indonesia lupa (mungkin belum tau) kalo pada tahun 2016 lalu, para ekonom dan ahli dunia bersepakat tentang stockholm statement of development principle. Yang bilang kalo pertumbuhan ekonomi itu bukan tujuan akhir -melainkan masih suatu alat untuk mencapai sesuatu. Artinya, kalo dari awal sudah (relatif) keliru menetapkan tujuan maka cara dan hasilnya pun akan mengikuti. Ini fatal akibatnya (bisa cek di rancangan teknokratik RPJMN 2020-2024 BAPPENAS, kalo negara ini menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan, di sana ada total investasi, kebutuhan dana ngutang dan bla bla bla.. Intinya pemerintah begitu menggenjot pertumbuhan ekonomi karena dirasa (mereka) itu tujuan akhirnya).

Kefatalan itu terjadi karena tujuan itu bertaut dengan pilihan prioritas, cara manajerial, dan pengelolaan pada semua jenis sumber daya. Akhirnya, bisa jadi resources yang dipakai tidak efisien dan tidak efektif, atau mungkin efektif tapi ternyata tidak efisien.

Tantangan Sebenarnya
Selanjutnya tentang tatangan kedepan, sebenarnya ia berkorelasi kuat dengan arah dan tujuannya. Kalo sekarang sudah tahu bahwa negara ini punya tujuan yang relatif menyimpang, maka perlu di luruskan. karena bisa jadi tantangan yg sudah diprediksi pada awalnya realtif salah juga, makanya perlu di luruskan, dengan sebenar-benar tantangan yang akan dihadapi oleh pembangunan SDM di Indonesia kedepannya.

World Bank Group merilis 4 indikator kuadran yang menjelaskan tentang pola pengeluaran dan capaiannya dari sebuah negara yg melakukan investasi pada sektor pembangunan SDM (Yusuf, 2019):

1) high capacity to mobilize resources, low investment in human capital, and weak outcomes
2) high level or efficiency of human capital spending that achieves good outcomes
3) high investment in human capital without commensurate outcomes
4) low capacity to mobilize resources, low investment in human capital, and high needs

Dari informasi di atas, data yang dimiliki oleh Negara ini sebenarnya masuk kuadran 1 dan 3, tidak masuk kuadran 2 dan 4, tetapi juga pada realitasnya tidak sebagaimana kuadran 1,2, 3 atau 4.

Menurut analisis data tahunan orang yang sekolah di Indonesia, rata rata orang yang sekolah di Jakarta Pusat, memiliki tinkat rata rata yang tinggi, artinya ia termasuk high capacity dan high investment. Namun pada sisi yang lain ada juga di Manggarai Timur, NTT memiliki rata-rata yang sangat rendah, artinya ia termasuk yang low capacity dan low investment. Hal ini serupa terjadi pada data stunting, access to clean water dan research & development yang ditunjukan.

Singkatnya, tantangan sebenarnya dalam masalah pengembangan SDM di Indonesia adalah soal Basic needs. Baik dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, akses kepada sumber energi, akses makanan bergizi dan bernutrisi, akses pendidikan maupun akses kesehatan. Perihal ini terkait erat dengan fungsi eksekutif pemerintah sebagai pemangku kebijakan. mereka harus mampu bijaksana dalam mengindentifikasi dan memutuskan, dan tentu juga tidak bisa “saklek” mesti dinamis dalam penerapannya.

Validasi dari data dan fakta yg di tunjukan mengenai basic needs ini juga dibenarkan keberadaannya dan menjadi bagian dari SDGs. Maka sebenarnya inilah tantangan realita yang dihadapi oleh negara yang kaya raya ini. Kok bisa sampai masih ada ayam mati di lumbung padi. Jangan-jangan ayamnya emang digantung ya? Atau disembelih?, Atau dikandangin ulu? Lupa kasih makan atau suruh cari makan?

Maka pada akhir simpulan, kebijakan yang ditawarkan dari pembicara sesi pertama adalah 1) perlu adanya peningkatan efisiensi dalam bidang pendidikan (focus pada pembelajaran). 2) memastikan sumber daya bagi keperluan basic needs mampu termobilisasi dapat optimal. 3) dalam RnD harus ada percepatan.

Dalam Islam, siapa yang memiliki akses terhadap kebijakan sangatlah dianjurkan harus mereka yang mempunyai pengetahuan dan kapasitas tersebut disertai ilham yang hanif atau punya kebijaksanaan. Tidak bisa sembarang orang asal pegang posisi tersebut. Karena ternyata begitulah dampak dari kebijakan yang hanya penuh ambisi namun tanpa kebijaksanaan.

Dan kebijaksanaan terbaik, datang dari sumber kebijaksanaan, yaitu yang menciptakan manusia dan segala penunjangnya untuk hidup. pertanyaannya sudahkah benar – benar kita mengambil pelajaran?

About Admin

Check Also

Sejarah Kopi

COFFEE AND HISTORY Sejarah kopi tentang dari mana dan siapa penemunya memang tidak diketahui pasti. ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *